Oleh : Jaswinaldi Ridwan (Anggota Front Mahasiswa Nasional Cabang Ternate)
Gubernur adalah pemimpin yang mandatnya berasal dari rakyat, bukan dari korporasi. Dalam konteks Maluku Utara, provinsi yang kaya akan sumber daya alam, khususnya tambang nikel, sikap Gubernur terhadap aktivitas perusahaan-perusahaan besar menjadi perhatian serius.
Ketika kebijakan dan tindakan seorang pemimpin daerah lebih mencerminkan kepentingan korporasi ketimbang rakyat, maka sudah saatnya publik mengingatkan “Gubernur” bukan pelindung modal, melainkan pelayan masyarakat.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Terlalu sering kita saksikan praktik eksploitasi alam yang mengorbankan masyarakat adat, lingkungan, dan masa depan generasi muda. Izin tambang yang dikeluarkan tanpa kajian lingkungan memadai, konflik lahan yang melibatkan masyarakat lokal, serta kerusakan ekosistem laut dan hutan menjadi bukti nyata bahwa kekuasaan bisa berbelok arah jika tidak diawasi dengan ketat.
Pandangan ini sejalan dengan apa yang dikatakan Greta Thunberg, aktivis lingkungan asal Swedia “Kita tidak bisa menyelamatkan dunia dengan mengikuti aturan permainan yang ingin dimainkan oleh mereka yang telah merusaknya.” Artinya, jika pemimpin daerah tunduk pada logika korporasi yang semata mencari keuntungan, maka keadilan ekologis dan sosial akan menjadi korban.
Ban Ki-moon, mantan Sekjen PBB, juga pernah mengingatkan bahwa “Pemimpin sejati berpikir tentang generasi mendatang, bukan hanya keuntungan jangka pendek.” Gubernur Maluku Utara harus merenungkan hal ini. Menjaga keseimbangan antara pembangunan ekonomi dan perlindungan lingkungan bukan sekadar wacana, tapi keharusan moral dan politik.
Ketika pemimpin lebih sibuk menjadi juru bicara perusahaan tambang ketimbang mendengar suara nelayan, petani, dan warga adat, maka legitimasi kepemimpinannya sedang dipertanyakan. Tugas rakyat adalah mengingatkan, bukan hanya pada saat pemilu, tapi setiap kali ada indikasi penyimpangan amanah.
Belum lagi soal Isu yang berkembang bebelakangan ini mengenai Sherly Joanda yang diduga memanfaatkan posisinya sebagai gubernur untuk memuluskan izin usaha tambang miliknya patut menjadi perhatian serius publik. Jika benar, tindakan semacam ini tidak hanya melanggar etika pemerintahan yang bersih, tetapi juga mengkhianati kepercayaan rakyat yang telah memilih pemimpinnya untuk bekerja demi kepentingan umum, bukan pribadi.
Jabatan publik adalah amanah, bukan alat dagang. Seorang gubernur seharusnya menjaga integritas, menunjukkan keteladanan, dan mengambil keputusan berdasarkan kepentingan masyarakat luas serta kelestarian lingkungan. Menggunakan kewenangan untuk mempercepat atau mempermudah proses perizinan usaha pribadi, terutama di sektor yang sarat konflik seperti pertambangan, adalah bentuk penyalahgunaan kekuasaan.
Peringatan ini bukan sekadar peringatan personal, melainkan seruan moral agar jabatan publik dijalankan secara etis. Seorang gubernur memegang kekuasaan besar dalam menentukan arah pembangunan daerah, termasuk kebijakan sumber daya alam yang sangat rawan diselewengkan jika tidak ada transparansi. Sebab pada akhirnya, jabatan publik adalah mandat rakyat, bukan tiket untuk mengeruk untung pribadi.