DI kota kecil seperti Ternate, tak banyak anak muda yang berani melawan arus. Kebanyakan tumbuh, besar, lalu terjebak dalam rutinitas. Tapi Ghozal Elfridho adalah pengecualian. Ia bukan hanya muda dan berpikir, tapi juga mau bergerak, menantang sistem, dan mencari cara berdampak bukan cuma untuk dirinya sendiri, tapi untuk banyak orang lain, terutama anak-anak muda seangkatannya.
Lahir pada 28 April 1995 di Ternate, Ghozal tumbuh dalam lingkungan yang akrab dengan semangat kolektif. Dari kecil, ia menyaksikan bagaimana komunitas bisa menjadi tempat belajar terbaik. Tapi seiring waktu, ia juga menyadari bahwa banyak potensi di sekitarnya yang tak berkembang karena sistem yang stagnan baik itu dalam pendidikan, ekonomi, maupun olahraga. Dari sinilah keyakinan dasarnya terbentuk, bahwa usaha, bila dimaknai dengan benar, bisa menjadi jalan perubahan sosial.
Ghozal memulai usahanya bukan dari gedung megah atau modal besar, tapi dari gagasan sederhana, bikin tempat ngopi yang bukan sekadar jualan kopi. Maka lahirlah Marsroom Coffee sebuah kedai yang pelan-pelan menjelma jadi ruang diskusi, tempat bertukar ide, bahkan kadang jadi ‘kantor dadakan’ anak-anak muda Ternate yang ingin kerja kreatif tapi belum punya tempat tetap. Dari Marsroom, banyak koneksi tumbuh. Dari Marsroom pula, Ghozal belajar banyak hal, mengelola tim, memahami karakter orang, hingga menghadapi risiko usaha yang tak pernah bisa ditebak.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Tak hanya berhenti di Marsroom, ia juga memimpin dua unit usaha lain, Intisari Tidore dan Berkat Musa Mandiri. Sebagai Direktur Di dua peran ini Ghozal tidak hanya fokus pada profit. Ia melihat usaha sebagai ruang membangun kapasitas dan kepercayaan. Baginya, usaha yang sehat adalah yang bisa menampung banyak peran, memecahkan masalah, dan menyumbang energi positif ke masyarakat.
Tapi Ghozal tak pernah puas cuma duduk di balik meja. Ada satu hal yang terus menariknya keluar, yakni sepakbola.
Bagi sebagian orang, sepakbola mungkin cuma tontonan. Tapi bagi Ghozal, sepakbola adalah medan belajar paling jujur. Di sana, tak ada basa-basi. Yang kerja keras akan terlihat. Yang malas akan tertinggal. Dan yang sungguh-sungguh akan jadi pembeda.
Ia memulai langkahnya di dunia bola sebagai pembina SSB Alfatar Jati, sekolah sepakbola akar rumput yang membina anak-anak dari kecil, dari tanpa sepatu hingga punya impian besar. Di sana, ia bukan cuma hadir sebagai manajer, tapi sebagai kakak, mentor, dan penyemangat, terutama untuk anak-anak dari keluarga sederhana yang ingin sekali main bola tapi tak punya fasilitas.
Tak lama kemudian, Ia juga mengelola Maldini Junior di TUVENT 2024, lalu membentuk dan memimpin tim TMPR yang tampil di Gambesi Championship 2024 dan Gurabati Open Tournament 2025 (GOT). Dan di GOT itulah, sejarah terukir, TMPR keluar sebagai juara 2.
Itu bukan sekadar kemenangan biasa. Karena TMPR bukan tim kaya, bukan pula unggulan. Mereka hanya tim kecil dengan semangat besar. Dan Ghozal memainkan peran penting di belakang layar, dari urus logistik, cari dana, hingga memotivasi pemain saat moral jatuh. Karena memang begitulah sepakbola komunitas semuanya serba swadaya, serba hati.
Tapi cerita Ghozal tak selalu mulus. Ia pernah mencoba masuk lebih dalam ke sistem, dengan mencalonkan diri sebagai Ketua ASKOT PSSI Kota Ternate. Sebuah langkah berani, karena itu artinya ia harus berhadapan dengan mekanisme organisasi yang sering kali lebih mementingkan status ketimbang kemampuan. Sayangnya, ia gagal lolos verifikasi karena alasan administratif. Tapi justru dari kegagalan itu, ia belajar sesuatu yang penting, bahwa sistem tak akan berubah hanya dengan niat baik. Harus ada kekuatan struktural dan konsolidasi massa yang kuat.
Namun, seperti biasa, Ghozal tidak larut dalam kekecewaan. Ia kembali ke akar perjuangannya usaha dan sepakbola. Dua dunia yang ia yakini bisa saling menopang. Dari usaha ia punya modal, jaringan, dan pengalaman. Dari sepakbola ia punya ruang pengabdian, medan pembentukan karakter, dan potensi perubahan sosial.
Dan Ghozal tahu, di kota seperti Ternate, ini bukan kerja satu-dua tahun. Ini kerja panjang, sunyi, kadang sepi pujian. Tapi bagi dia, hidup bukan soal sorotan, tapi soal dampak. Bahkan kalau itu hanya dampak kecil seperti seorang anak SSB yang jadi lebih percaya diri, atau pemain kampung yang akhirnya dapat tawaran trial di klub lebih besar.
Kalau kamu tanya Ghozal soal ambisinya ke depan, dia mungkin tak akan jawab panjang. Ia bukan tipe yang suka berkoar-koar di media. Tapi dari caranya kerja, dari tim yang ia bangun, dan dari anak-anak muda yang ia dampingi, kamu tahu bahwa ia sedang menanam sesuatu yang besar.
Sepakbola adalah tempat ia berbuat. Usaha adalah tempat ia bertahan. Dan di antara keduanya, ia belajar menyusun ulang makna “berhasil.” Bukan soal jabatan. Bukan soal omset. Tapi soal seberapa banyak orang yang hidupnya ikut naik karena kerja-kerja kecil yang ia mulai.
Mungkin bagi sebagian orang, apa yang Ghozal lakukan tampak biasa. Tapi di kota kecil seperti Ternate, di mana semangat mudah padam dan ide cepat ditenggelamkan oleh birokrasi dan patronase, kehadiran orang seperti Ghozal adalah penting. Ia membuktikan bahwa anak muda bisa jadi pelaku perubahan, bukan hanya penonton.
Bagi Ghozal, selama lapangan masih ada, selama anak-anak masih menendang bola dengan sepatu sobek, selama warung kopi masih bisa jadi tempat obrolan jujur, maka perjuangan belum selesai. Dan untuk itu, ia tak akan berhenti.
Dari kami untukmu Ghozal. Tetap berusaha, Berkarya dan Berdampak. Kau menginspirasi kami. Sukses dan sehat selalu Mentor Terbaik. (*)