Oleh: Nasrullah Timula – Anggota Forum Insan Cendikia (FIC) Maluku Utara dan Mahasiswa Pendidikan IPS Unutara.
DI tengah perkembangan dunia yang semakin modern, pendidikan menjadi isu strategis yang tak pernah habis untuk dibahas. Dewasa ini, praktik pendidikan di Indonesia menunjukkan gejala kemunduran, baik secara kualitas maupun karakter. Fenomena ini terjadi seiring dengan perkembangan zaman yang justru menjadi ancaman terselubung bagi dunia pendidikan jika tidak dikelola dengan bijak.
Tulisan ini lahir dari analisis terhadap berbagai persoalan pendidikan, khususnya di wilayah Maluku Utara, yang mengalami kemerosotan baik dalam sistem maupun implementasinya. Kita menyaksikan secara nyata bahwa praktik pendidikan belum mampu beradaptasi secara utuh dengan arus perkembangan teknologi, bahkan cenderung tertinggal dan terbelakang.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Di era digital seperti sekarang, teknologi seharusnya menjadi instrumen penting untuk memperkuat ide dan gagasan. Namun yang terjadi justru sebaliknya. Banyak pelajar dan bahkan pendidik terjebak dalam penggunaan media sosial yang tidak produktif, bahkan destruktif. Pemerintah sudah menyediakan akses digital, tetapi belum disertai dengan pengawasan dan literasi digital yang memadai.
Media sosial seharusnya digunakan secara bijak sebagai corong gagasan produktif, bukan ladang untuk menyebarkan hoaks, kebencian, atau hal-hal tak bermanfaat. Oleh sebab itu, tenaga pengajar perlu memperkuat kompetensi mereka, baik secara teoritik maupun praktik, dan menyesuaikan metode pembelajaran dengan perkembangan zaman.
Model-model pengajaran yang baik harus mampu memadukan antara teori dan praktik. Ketika pembelajaran dilakukan secara eksperimental, guru bukan sekadar menyampaikan materi, tetapi juga membimbing siswa dalam membangun hipotesis, menguji gagasan, serta menerapkan teori dalam kehidupan nyata. Hal ini akan membangun keterampilan dan memperkuat kapasitas pengetahuan siswa secara lebih bermakna.
Maka dari itu, media sosial harus menjadi bagian dari strategi pendidikan yang inovatif dan edukatif. Generasi hari ini harus diarahkan untuk membangun budaya membaca yang kuat. “Bacalah!” perintah ini adalah titik tolak dari seluruh peradaban ilmu. Generasi muda harus diajak kembali mencintai buku, literasi, dan diskusi kritis.
Kemunduran Karakter
Lebih dari sekadar akademik, pendidikan adalah soal pembentukan karakter. Sayangnya, kita menyaksikan kemunduran karakter di kalangan pelajar yang semakin hari semakin memprihatinkan. Penulis tidak bermaksud menyalahkan pendidikan keluarga karena peran keluarga dalam menanamkan nilai-nilai moral tetap fundamental. Namun, pengaruh lingkungan sosial, terutama media sosial, sangat kuat membentuk karakter remaja masa kini.
Perubahan karakter generasi muda bisa kita lihat dari berbagai sisi. Media sosial, misalnya, seringkali menjadi panggung bagi tindakan tidak beretika, ujaran kebencian, bahkan kekerasan verbal yang jauh dari nilai-nilai pendidikan karakter. Ironisnya, semua itu terjadi bukan karena mereka ingin, melainkan karena situasi sosial yang terus menekan dan membentuk.
Kita tidak bisa menjustifikasi karakter seseorang secara semena-mena. Yang perlu dilakukan adalah membangun tuntunan dan bimbingan dari rumah dan sekolah. Sebab, kekuatan karakter seseorang terbentuk dari bagaimana lingkungan mendidik, menegur, dan memberi arah.
Kemunduran karakter ini sangat kontras jika dibandingkan dengan masa lalu, ketika para tetua kita menjunjung tinggi nilai sopan santun, gotong royong, dan rasa hormat terhadap sesama. Pendidikan karakter hari ini perlu kembali belajar dari sejarah dan nilai-nilai luhur yang telah dipraktikkan oleh generasi terdahulu.
Generasi hari ini rentan terjebak dalam pola hidup yang konsumtif, dangkal, dan suka hura-hura tanpa arah. Maka dibutuhkan gerakan sadar literasi dan pembentukan karakter di sekolah maupun di perguruan tinggi. Masa depan adalah arena pertarungan gagasan, bukan sekadar ajang pencitraan. Maka, hanya generasi yang siap secara karakter dan gagasanlah yang akan mampu menjadi pemimpin dan pelopor perubahan.
Pendidikan kita hari ini menghadapi tantangan besar, bukan hanya pada aspek akademik, tetapi juga pada pembentukan karakter dan etika. Untuk menjawab tantangan itu, diperlukan kolaborasi antara sekolah, keluarga, dan masyarakat dalam membangun kembali fondasi pendidikan yang berbasis pada nilai, literasi, dan akhlak.
Pendidikan tidak boleh berhenti pada transfer ilmu. Ia harus menjadi gerakan kebudayaan yang membentuk manusia seutuhnya yang berpikir kritis, beretika, dan mampu menjawab tantangan zaman. Saatnya kita menyadari bahwa kemunduran karakter adalah panggilan untuk berbenah. Mari jadikan pendidikan sebagai ladang perjuangan peradaban, bukan sekadar proyek pembangunan. (*)