Pendidikan Formal yang Gagal Membangun Kesadaran Anak Muda Maluku Utara

- Penulis Berita

Kamis, 14 Agustus 2025 - 11:42 WIT

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Oleh: Dahril Fardinan* – Literacy Aktivist Forum Insan Cendikia (FIC) Maluku Utara

PADA masa lalu, jauh sebelum gedung-gedung sekolah berdiri di setiap sudut desa, pendidikan di Maluku Utara dijalankan dalam ruang hidup masyarakat itu sendiri. Anak-anak belajar dari orang tua, tetua adat, dan lingkungan sekitar. Mereka meniru perilaku orang dewasa, menguasai keterampilan mengolah tanah, memancing ikan di laut, berburu di hutan, serta memahami adat-istiadat yang diwariskan turun-temurun oleh tete nene moyang. Nilai-nilai hidup, norma, dan kesadaran sosial tidak lahir dari buku pelajaran atau ujian tertulis, tetapi dari pengalaman langsung, dari keterlibatan penuh dalam kehidupan komunitas. Pendidikan pada masa itu membentuk manusia yang tidak hanya cakap secara keterampilan, tetapi juga peka terhadap lingkungan, hormat kepada sesama, dan sadar akan posisinya di dalam tatanan sosial.

Namun, ketika zaman berubah dan masyarakat berkembang, hadir pendidikan formal yang menjanjikan pengetahuan lebih luas dan keterampilan modern. Sekolah menjadi simbol kemajuan, dan ijazah dianggap kunci untuk membuka pintu masa depan. Akan tetapi, harapan itu pelan-pelan berubah menjadi ironi. Di Maluku Utara hari ini, pendidikan formal yang seharusnya menjadi jalan pembebasan justru gagal membangun kesadaran, karakter, dan jati diri anak muda. Sekolah yang dulu disebut “rumah ilmu” kini lebih sering menjadi “proyek pembangunan” yang dipenuhi kepentingan di luar pendidikan.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Kegagalan ini tidak datang tiba-tiba. Ia lahir dari sistem yang terlalu terobsesi pada nilai akademik semata. Anak-anak dibentuk untuk mengejar angka dan peringkat, bukan untuk memahami diri dan lingkungannya. Pendidikan karakter nyaris hilang dari prioritas. Mereka dididik untuk menghafal jawaban ujian, bukan untuk mengajukan pertanyaan kritis tentang kehidupan. Kurikulum yang berlaku sering tidak relevan dengan kebutuhan nyata siswa maupun konteks lokal Maluku Utara. Pelajaran yang diberikan banyak yang bersifat abstrak, terputus dari realitas sehari-hari, sehingga lulusan sekolah sering kebingungan menentukan arah hidup.

Lemahnya pendidikan karakter ini berdampak serius. Di banyak sekolah, kekerasan antarsiswa dan bahkan pelecehan seksual bukan lagi kabar yang mengejutkan. Kasus-kasus seperti ini menjadi bukti rapuhnya pondasi moral di lingkungan pendidikan. Siswa tidak lagi mampu memposisikan diri dengan tepat, tidak memahami batas-batas yang seharusnya dijaga, dan tidak memiliki kesadaran sosial yang memadai.

Ironisnya, pemerintah sering mengumandangkan slogan “pendidikan gratis” sebagai kebanggaan. Namun, kenyataan di lapangan berkata lain. Masih banyak siswa yang putus sekolah hanya karena tidak mampu membayar biaya tambahan seperti uang komite atau pungutan lainnya. Data WPS bahkan mencatat, sekitar 24% anak di Maluku Utara tidak melanjutkan sekolah. Angka ini seharusnya membuat semua pihak waspada, karena menunjukkan betapa akses pendidikan masih belum benar-benar merata.

Bagi yang berhasil menyelesaikan pendidikan formal pun, jalan tidak serta-merta menjadi mudah. Ijazah memang menjadi syarat formal untuk mendapatkan pekerjaan, tetapi banyak lulusan, termasuk yang bergelar sarjana, tetap menganggur. Tidak sedikit yang akhirnya bekerja di sektor tambang atau memilih pekerjaan serabutan, bahkan ada yang terjebak dalam dunia kriminal, karena tidak memiliki keterampilan lain yang bisa diandalkan. Pendidikan formal yang semestinya membentuk manusia berpengetahuan dan berkarakter justru memproduksi lulusan yang bingung dan kehilangan arah.

Kondisi ini semakin diperparah oleh perubahan budaya belajar. Dahulu, literasi buku menjadi bagian penting dalam proses pendidikan. Anak-anak dibiasakan membaca, memahami teks, dan mendiskusikan isi buku. Kini, dengan hadirnya teknologi, kebiasaan membaca buku semakin tergeser. Banyak yang mengira teknologi otomatis membawa dampak baik bagi pendidikan, padahal tanpa pengawasan dan arahan yang benar, teknologi hanya menjadi hiburan pasif. Siswa sibuk dengan gawai, tetapi miskin bacaan yang bermakna. Teknologi seharusnya menjadi alat bantu, bukan pengganti proses belajar yang mendalam.

Sekolah, sayangnya, sering kali terjebak pada citra. Bangunan yang megah, peringkat akreditasi yang tinggi, atau jumlah siswa yang banyak dianggap sebagai ukuran keberhasilan. Padahal, ukuran yang sesungguhnya adalah bagaimana sekolah mampu membentuk karakter, kesadaran, dan keterampilan siswa agar siap menghadapi hidup. Jika karakter itu hilang, maka sehebat apapun nilai akademik yang diraih, pendidikan tersebut hanyalah kulit tanpa isi.

Dalam kondisi seperti ini, kita perlu bertanya: apakah pendidikan formal di Maluku Utara benar-benar dirancang untuk semua anak, atau hanya untuk mereka yang mampu memenuhi tuntutan biaya dan standar yang dibuat oleh sistem? Apakah sekolah masih menjadi tempat menumbuhkan kecintaan pada ilmu, atau sudah sepenuhnya menjadi proyek yang dikelola demi keuntungan segelintir pihak? Pertanyaan-pertanyaan ini penting, karena jika tidak dijawab dengan jujur, maka masalah ini akan terus berlangsung hingga melahirkan generasi yang terpinggirkan di tanahnya sendiri.

Pemerintah daerah, pihak sekolah, guru, dan masyarakat tidak boleh hanya menjadi penonton. Perlu ada pembenahan menyeluruh. Kurikulum harus disesuaikan dengan kebutuhan nyata anak Maluku Utara, bukan hanya menyalin kebijakan dari pusat tanpa mempertimbangkan konteks lokal. Pendidikan karakter harus menjadi inti, bukan pelengkap. Pendidikan gratis harus benar-benar gratis, tanpa pungutan tersembunyi yang menghalangi siswa miskin untuk melanjutkan sekolah. Teknologi harus digunakan untuk memperkuat literasi, bukan menggantikannya.

Keberhasilan pendidikan tidak boleh lagi diukur dari berapa banyak ijazah yang dicetak atau seberapa cepat sekolah naik akreditasi. Keberhasilan harus diukur dari berapa banyak anak yang tumbuh menjadi pribadi yang berpengetahuan, berkarakter, dan siap menghadapi tantangan hidup. Pendidikan yang sejati adalah pendidikan yang membebaskan, yang memberi anak kemampuan untuk berpikir kritis, bekerja sama, menjaga martabatnya, dan menghargai orang lain.

Jika kita terus membiarkan sistem yang ada berjalan seperti sekarang, maka 30 tahun ke depan kita akan melihat generasi yang tidak lagi menghargai orang tua, kehilangan akar budaya, dan terpinggirkan di negeri sendiri. Generasi yang lebih mengenal layar ponsel daripada sejarah leluhurnya, lebih akrab dengan konten hiburan daripada literasi kritis, dan lebih mengandalkan ijazah sebagai simbol kosong daripada keterampilan dan kesadaran sebagai modal hidup.

Pendidikan formal di Maluku Utara masih punya harapan untuk berubah, tetapi waktu tidak akan menunggu. Setiap tahun yang kita biarkan berlalu tanpa perubahan berarti adalah tahun di mana ribuan anak kehilangan kesempatan untuk membentuk dirinya menjadi manusia seutuhnya. Inilah saatnya semua pihak, dari pemerintah, sekolah, guru, hingga orang tua, bersatu untuk mengembalikan pendidikan kepada tujuan aslinya: membangun manusia yang merdeka, berilmu, dan berkarakter. *(

Facebook Comments Box

Berita Terkait

Bayangan Gelap Pendidikan: Membaca Maluku Utara Dari kacamata Pendidikan Multikultural Berbasis Kearifan Lokal
Organisasi : Laboratorium Ilmu Pengetahuan untuk Mahasiswa
“Balas Pantun” DOB Sofifi
Ngute – ngute Bukan Desa Dongeng
Gebe Dikeruk, Ulayat Dirusak, Antara Luka Tanah Waris
Era Penjajahan Korupsi: Ketika Bangsa Dijajah oleh Anaknya Sendiri
Matinya “Meritokrasi”
Kacamata Gelap, Politik, Balas Budi, Atas Rumah Layak Huni di Halteng
Berita ini 17 kali dibaca

Berita Terkait

Kamis, 14 Agustus 2025 - 11:51 WIT

Bayangan Gelap Pendidikan: Membaca Maluku Utara Dari kacamata Pendidikan Multikultural Berbasis Kearifan Lokal

Kamis, 14 Agustus 2025 - 11:42 WIT

Pendidikan Formal yang Gagal Membangun Kesadaran Anak Muda Maluku Utara

Jumat, 25 Juli 2025 - 15:45 WIT

“Balas Pantun” DOB Sofifi

Rabu, 23 Juli 2025 - 15:34 WIT

Ngute – ngute Bukan Desa Dongeng

Selasa, 22 Juli 2025 - 15:20 WIT

Gebe Dikeruk, Ulayat Dirusak, Antara Luka Tanah Waris

Selasa, 22 Juli 2025 - 14:28 WIT

Era Penjajahan Korupsi: Ketika Bangsa Dijajah oleh Anaknya Sendiri

Senin, 21 Juli 2025 - 16:39 WIT

Matinya “Meritokrasi”

Jumat, 18 Juli 2025 - 10:45 WIT

Kacamata Gelap, Politik, Balas Budi, Atas Rumah Layak Huni di Halteng

Berita Terbaru

Daerah

Tiga Pejabat Utama Berganti, Polres Halsel Gelar Sertijab

Kamis, 14 Agu 2025 - 12:04 WIT