Bayangan Gelap Pendidikan: Membaca Maluku Utara Dari kacamata Pendidikan Multikultural Berbasis Kearifan Lokal

- Penulis Berita

Kamis, 14 Agustus 2025 - 11:51 WIT

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Oleh: Riski Ikra* – Literacy Aktivist Forum Insan Cendikia (FIC) Maluku Utara

PENDIDIKAN di Indonesia sejak lama didaulat menjadi jalan emas menuju kemajuan bangsa. Konstitusi telah menegaskannya melalui Pembukaan UUD 1945 dan Pasal 31, menjamin setiap warga negara berhak memperoleh pendidikan yang layak. Sistem pendidikan nasional didesain sedemikian rupa untuk membentuk manusia yang beriman, berilmu, dan berdaya saing melalui jalur formal, nonformal, dan informal. namun, sebagaimana diingatkan oleh Salim & Aprison (2024), keberhasilan pendidikan tidak cukup diukur dari ada atau tidaknya kurikulum, gedung sekolah, atau angka partisipasi. Pendidikan sejati adalah proses membentuk manusia yang mampu menghargai keragaman, memahami dirinya, dan menginternalisasi nilai-nilai luhur masyarakatnya. ketika pendidikan kehilangan makna ini, ia berubah menjadi sekadar mesin produksi ijazah terang di atas kertas, namun gelap dalam substansi. fenomena ini kini terlihat jelas di Maluku Utara, di mana perolehan gelar tanpa proses belajar yang jujur menjadi cerita yang bukan lagi rahasia, melainkan bagian dari percakapan sehari-hari.

di banyak kampus di pelosok Maluku Utara, terdapat satu fenomena yang diam-membisu menjadi rahasia umum, namun jarang mau diakui secara terbuka: lahirnya “mahasiswa siluman”. Mereka ini bukanlah sosok mistik dalam arti sebenarnya, tetapi kehadirannya di dunia akademik nyaris seperti hantu terdaftar secara administratif, namanya tercantum di daftar mahasiswa aktif, bahkan fotonya terpampang di kartu identitas kampus. namun, ketika semester demi semester berjalan, kursi mereka di ruang kuliah lebih sering kosong. Mereka jarang muncul dalam pertemuan kelas, enggan mengerjakan tugas, apalagi menyentuh skripsi yang seharusnya menjadi puncak perjalanan akademik. Anehnya, di akhir perjalanan, toga tetap disampirkan di bahu, ijazah tetap diberikan dengan senyum lebar, dan nama mereka diumumkan di panggung wisuda tepat waktu, seolah segala proses telah dilewati dengan sempurna.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

fenomena ini mencerminkan sebuah kemunduran yang lebih dalam dari sekadar absensi di kelas. ia adalah gejala hilangnya kompetensi multikultural dalam makna yang dijelaskan Salim & Aprison (2024) kemampuan menghargai proses, berinteraksi sehat dengan perbedaan, dan menegakkan integritas akademik. Mahasiswa siluman tidak hanya absen secara fisik, tetapi juga absen secara moral dari nilai-nilai yang seharusnya menjadi inti pendidikan. Mereka melewatkan kesempatan untuk membentuk diri melalui pertemuan pikiran, diskusi lintas perspektif, dan latihan disiplin intelektual yang menjadi jantung pengalaman kuliah. ketika interaksi yang membangun pemahaman dan toleransi tergantikan oleh transaksi administratif, pendidikan kehilangan ruhnya.
Lebih ironis lagi, ekosistem kampus justru sering memelihara kondisi ini. target kelulusan yang tinggi demi mempertahankan akreditasi membuat sebagian pengelola perguruan tinggi bersedia “mengorbankan” mutu demi angka pada laporan tahunan. Dosen yang seharusnya menjadi garda terakhir integritas akademik terkadang memilih menutup mata, membiarkan mahasiswa malas melenggang menuju kelulusan demi menghindari konflik atau mempercepat penyelesaian beban administrasi. di sisi lain, keluarga mahasiswa pun ikut menabur pupuk di budaya ini. Gelar akademik dilihat hanya sebagai simbol gengsi keluarga sesuatu yang bisa dipamerkan di ruang tamu atau disebut dengan bangga di acara-acara kampung tanpa menimbang apakah gelar itu lahir dari proses belajar yang bersih dan bermakna.

jika kita gali lagi mendalam bahwa Korban terbesar dari keadaan ini justru adalah mahasiswa yang sungguh-sungguh menjalani proses belajar. Mereka mengerjakan tugas, hadir di kelas, menghabiskan malam dengan membaca serta menulis, namun akhirnya melihat rekan mereka yang abai terhadap semua kewajiban akademik lulus pada waktu yang sama, bahkan kadang dengan nilai tak jauh berbeda. Rasa keadilan pun terkikis, motivasi belajar merosot, dan kepercayaan terhadap sistem pendidikan mulai rapuh. ketika kampus berubah menjadi panggung sandiwara, di mana prestasi dipentaskan tanpa latar proses, generasi yang lahir dari sistem itu akan terbiasa menganggap hasil lebih penting daripada perjalanan. dan saat itu terjadi, pendidikan telah kehilangan makna terdalamnya bukan lagi arena pembentukan manusia utuh, melainkan pabrik ijazah yang memproduksi kebanggaan semu.

dampak dari krisis ini bukan hanya terasa di lingkungan akademik, tetapi juga di pasar kerja dan pembangunan daerah. Lulusan sarjana yang dihasilkan tanpa kompetensi nyata kesulitan bersaing di dunia kerja. Perusahaan besar, khususnya di sektor pertambangan dan industri yang berkembang pesat di Maluku Utara, cenderung merekrut tenaga kerja dari luar daerah karena menilai lulusan lokal kurang siap secara keterampilan dan etos kerja. Salim & Aprison (2024) menegaskan bahwa pendidikan multikultural harus diarahkan untuk mengembangkan literasi budaya, keterampilan dasar, dan kemampuan berpikir kritis modal penting yang kini justru lemah di kalangan banyak lulusan lokal. Akibatnya, jurang antara pendidikan dan pembangunan daerah melebar; gelar yang seharusnya menjadi modal sosial-ekonomi malah menjadi beban, karena tidak diiringi kemampuan riil untuk berkontribusi. Generasi yang lahir dari sistem seperti ini mungkin percaya diri secara simbolik, tetapi rapuh secara kompetensi.

Bayangan gelap pendidikan di Maluku Utara tidak akan sirna hanya dengan mengganti kurikulum atau membentuk peraturan baru yang lahir asal meja rapat birokrasi. sumber masalahnya jauh lebih dalam, menyentuh soal mentalitas, budaya akademik, dan cara kita memandang makna pendidikan itu sendiri. Selama pendidikan hanya diukur dari selembar ijazah dan toga yang dikenakan di hari wisuda, selama itu pula kita hanya memproduksi lulusan yang tampak gemerlap di foto, tetapi rapuh pada medan nyata.

Jalan keluarnya bukan sekadar pembenahan administratif, tetapi rekonstruksi makna belajar yang berpijak pada akar kearifan lokal. seperti Minangkabau dengan BAM, tradisi seni-budaya, dan pengasuhan di keluarga yang memupuk toleransi, Maluku Utara pun memiliki kekayaan nilai yang tak kalah kuat: gotong royong sebagai perekat sosial, musyawarah sebagai panglima keputusan, penghormatan kepada tetua menjadi etika hidup, dan etos kerja kolektif sebagai napas kebersamaan. Nilai-nilai inilah yang seharusnya diangkat menjadi pondasi kurikulum, metode pengajaran, dan standar integritas akademik.

Kampus tidak boleh menjadi pabrik gelar yang meluluskan siapa pun yang sekadar memenuhi persyaratan administrasi. Pendidikan harus kembali menjadi ruang yang melatih kemampuan berpikir kritis, membentuk karakter, dan menanamkan rasa hormat pada proses. Pemerintah Daerah, perguruan tinggi, dan komunitas lokal wajib duduk bersama, merumuskan strategi yang memastikan bahwa setiap lulusan membawa bekal keterampilan hidup, integritas, dan keberanian menghadapi tantangan global. di sini, tanggung jawab kampus menjadi ujian moral: apakah mereka mau menjadi benteng terakhir penjaga mutu pendidikan, atau sekadar mesin pencetak “produk” dengan kemasan gelar? fenomena gelar yang menempel seperti tempelan nama tanpa makna ibarat “titel joko widodo” presiden ke tuju yang terus memicu tanya publik seharusnya menjadi peringatan keras. Gelar tanpa isi hanya akan menjerumuskan pemiliknya dalam beban reputasi yang mereka sendiri tidak mampu pikul.

karena itu, seluruh elemen dosen, mahasiswa, orang tua, pemerintah, bahkan masyarakat luas perlu berhenti sejenak asal rutinitasnya, kemudian bertanya menggunakan amanah: apakah pendidikan yang kita jalankan benar-sahih membentuk insan seutuhnya, atau sekadar mengilapkan statistik kelulusan demi kepuasan semu? Apakah kita tengah mempersiapkan generasi yang tangguh, berintegritas, dan siap berkompetisi pada dunia nyata, atau justru hanya mengantarkan mereka ke panggung wisuda, lalu membiarkan mereka tersandung, bahkan tersesat, dalam kerasnya realitas dunia kerja? ada pula ada satu fenomena yang biasa saya sebut “mahasiswa TikTok” yang lebih sibuk mengasah citra di layar ponsel ketimbang membangun kapasitas diri, hanyalah salah satu gejala dari pendidikan yang kehilangan arah. Begitu pula, kurikulum yang digadang-gadang sebagai solusi perubahan tidak akan pernah melahirkan generasi yang unggul Jika mentalitas masih bergantung pada “kemudahan” yang dibayar dengan uang keluarga, bukan kerja keras dan kejujuran intelektual. ketika kelulusan bisa dipoles dengan fasilitas ekonomi, bukan kemampuan akademik dan etos kerja, maka ijazah yang dihasilkan tak lebih dari lembaran kertas yang rapuh menghadapi badai kehidupan.

Jika pola ini terus dibiarkan, pendidikan akan menjadi pabrik gelar tanpa jiwa, menghasilkan lulusan yang cantik di atas kertas namun rapuh di lapangan. dan saat itu terjadi, gelap yang kita khawatirkan bukan hanya menelan terang yang tersisa, namun juga memadamkan harapan masa depan bangsa. *(

Facebook Comments Box

Berita Terkait

Pendidikan Formal yang Gagal Membangun Kesadaran Anak Muda Maluku Utara
Organisasi : Laboratorium Ilmu Pengetahuan untuk Mahasiswa
“Balas Pantun” DOB Sofifi
Ngute – ngute Bukan Desa Dongeng
Gebe Dikeruk, Ulayat Dirusak, Antara Luka Tanah Waris
Era Penjajahan Korupsi: Ketika Bangsa Dijajah oleh Anaknya Sendiri
Matinya “Meritokrasi”
Kacamata Gelap, Politik, Balas Budi, Atas Rumah Layak Huni di Halteng
Berita ini 25 kali dibaca

Berita Terkait

Kamis, 14 Agustus 2025 - 11:51 WIT

Bayangan Gelap Pendidikan: Membaca Maluku Utara Dari kacamata Pendidikan Multikultural Berbasis Kearifan Lokal

Kamis, 14 Agustus 2025 - 11:42 WIT

Pendidikan Formal yang Gagal Membangun Kesadaran Anak Muda Maluku Utara

Jumat, 25 Juli 2025 - 15:45 WIT

“Balas Pantun” DOB Sofifi

Rabu, 23 Juli 2025 - 15:34 WIT

Ngute – ngute Bukan Desa Dongeng

Selasa, 22 Juli 2025 - 15:20 WIT

Gebe Dikeruk, Ulayat Dirusak, Antara Luka Tanah Waris

Selasa, 22 Juli 2025 - 14:28 WIT

Era Penjajahan Korupsi: Ketika Bangsa Dijajah oleh Anaknya Sendiri

Senin, 21 Juli 2025 - 16:39 WIT

Matinya “Meritokrasi”

Jumat, 18 Juli 2025 - 10:45 WIT

Kacamata Gelap, Politik, Balas Budi, Atas Rumah Layak Huni di Halteng

Berita Terbaru

Daerah

Tiga Pejabat Utama Berganti, Polres Halsel Gelar Sertijab

Kamis, 14 Agu 2025 - 12:04 WIT