HALSEL,Nalarsatu.com – Dugaan penyalahgunaan bantuan sosial (bansos) berupa Bantuan Pangan Non Tunai (BPNT) oleh oknum pendamping di Kabupaten Halmahera Selatan menuai sorotan tajam dari berbagai pihak, termasuk praktisi hukum.
Selama enam bulan, terhitung dari Juli hingga Desember 2024, warga tidak menerima hak mereka senilai Rp1.200.000 per Keluarga Penerima Manfaat (KPM). Padahal, nama-nama mereka tercantum jelas dalam daftar resmi dari Kementerian Sosial RI. Namun, dana bantuan itu tak pernah sampai ke tangan penerima.
Sejumlah warga yang merasa dirugikan, seperti Musa Tukang, Alwia La Singga, Sania Jainal, Salwia Yusuf, Edy A. Karamaha, dan Nahor Palaudi, mengaku tidak mendapat kejelasan dari siapa pun. Saat dimintai penjelasan, Felista Kokiroba, pendamping bansos di wilayah tersebut, memilih bungkam. Sementara itu, PT Pos Indonesia di Laiwui juga tidak mampu memberikan jawaban pasti terkait penyaluran dana.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Praktisi hukum Bambang Joisangadji, S.H yang dimintai tanggapannya melalui sambungan WhatsApp menilai bahwa kasus ini tidak bisa dianggap sepele. Menurutnya, tindakan pendamping yang tidak menyalurkan bantuan kepada penerima adalah bentuk pelanggaran serius yang merugikan masyarakat dan negara.
“Pendamping yang menyalahgunakan dana BPNT untuk kepentingan pribadi hingga menghilangkan hak penerima, dapat dijerat dengan Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi,” ujar Bambang Senin (26/5).
Bambang merujuk pada Pasal 2 ayat (1) jo Pasal 3 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas UU Nomor 31 Tahun 1999. Ia juga menekankan bahwa pelaku dapat dijerat Pasal 8 UU Tipikor yang mengatur tentang penggelapan dalam jabatan, dengan ancaman pidana minimal tiga tahun dan maksimal 15 tahun serta denda antara Rp150 juta hingga Rp750 juta.
“Ini bukan kesalahan administratif biasa. Ini kejahatan yang merampas hak warga miskin,” tegasnya.
Lebih lanjut, kata dia, pihak-pihak lain yang terlibat, termasuk oknum penyalur atau instansi yang bekerja sama, juga bisa dijerat dengan Pasal 55 KUHP sebagai pihak yang turut serta melakukan tindak pidana.
Bambang mendorong Dinas Sosial Halsel untuk segera mengambil tindakan korektif dan represif dengan melibatkan aparat penegak hukum seperti Polres, Kejari, dan Inspektorat Halsel.
“Siapa pun yang melakukan pemotongan dana atau tidak menyalurkan bantuan, harus diproses sampai ke pengadilan,” ucapnya lagi.
Ia menambahkan bahwa Menteri Sosial RI Tri Rismaharini telah secara terbuka menyatakan komitmen Kemensos dalam membongkar penyimpangan bantuan sosial, termasuk menjalin kerja sama dengan aparat penegak hukum.
“Kalau pelanggaran ini terjadi di Halsel, maka Polres dan Kejaksaan sudah seharusnya mengusut tuntas dan membongkarnya sampai ke akarnya,” tutup Bambang.