HALSEL, Nalarsatu.com– Front Perjuangan Peduli Rakyat (FPR) Halmahera Selatan kembali menuntut kepolisian setempat untuk segera menetapkan tersangka dalam kasus dugaan sodomi yang melibatkan oknum guru SMA di Pulau Obi. Kasus ini mencuat sejak September 2024 lalu dan hingga Juni 2025 masih mandek di tahap penyidikan tanpa adanya kejelasan penetapan tersangka.
Adenyong Nafis, koordinator FPR Halsel, mengungkapkan kekecewaannya atas lambannya penanganan perkara yang menyangkut tiga siswa laki-laki sebagai korban.
“Kasus sudah melalui serangkaian visum dan pemeriksaan psikologis yang membuktikan trauma berat pada korban, tapi hingga kini pelaku belum juga ditetapkan tersangka,” ungkapnya teriakan keras saat berorasi di depan Mapolres Halsel, Jumat (20/6).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
FPR menyoroti adanya permintaan tambahan alat bukti berupa chat sebagai syarat utama penetapan tersangka, yang justru memperpanjang penderitaan korban.
“Meminta bukti komunikasi digital memang penting, tapi ini bukan satu-satunya petunjuk. Kita harus segera melibatkan ahli pidana untuk mengkaji seluruh bukti secara komprehensif dan mendalam, agar tidak ada alasan untuk menunda proses hukum,” tegas Adenyong.
Kepala Bidang Pembinaan Operasional Satuan Reserse Kriminal (KBO) Reskrim Polres Halmahera Selatan, IPDA Muhammad Sukri, membenarkan gelar perkara telah digelar minggu lalu. Namun, ia menegaskan penyidikan masih berlanjut untuk melengkapi berkas.
“Status terduga pelaku saat ini masih sebagai saksi karena kelengkapan alat bukti belum mencukupi. Sudah ada enam saksi yang kami periksa dan kami berkomitmen mempercepat proses agar keadilan segera ditegakkan,” ujar Sukri, Jumat (20/6).
Pihak kepolisian juga menyatakan telah berkoordinasi dengan Polsek Obi dan berencana menggandeng ahli pidana serta pakar forensik digital untuk memperkuat alat bukti, termasuk analisis chat yang diminta. Ahli pidana nantinya akan membantu menilai aspek hukum terkait kesesuaian bukti dan menentukan langkah penyidikan berikutnya.
Sementara itu, masyarakat dan sejumlah organisasi sipil terus mengawal kasus ini. Mereka menilai lambatnya penanganan justru berpotensi menambah trauma korban dan mencederai rasa keadilan. Mereka meminta agar kepolisian segera menggunakan seluruh instrumen hukum yang ada, termasuk penerapan Pasal 184 KUHAP tentang alat bukti yang sah, agar proses hukum tidak hanya formalitas tapi benar-benar menghasilkan keadilan.