Oleh : Sulfan Kiye – Himpunan Mahasiswa Islam
PENGALAMAN mengajarkan kepada kita untuk tidak menjadikan apa yang telah kita pahami dengan jelas hanya sebagai sekedar asumsi. Orang sering menyebutnya sebagai aksioma, yang dalam pendidikan tidak bisa dilepaskan dari opini-opini para guru yang bersifat teoritis. Opini-opini tersebut pada gilirannya kadang lebih eksplisit namun kadang justru sebaliknya secara tidak langsung berupa interpretasi tentang apa itu manusia dan dunia, bukan sebaliknya yaitu konsep tentang manusia dan dunia menyiratkan perlunya pendidikan.
Salah satu bahasan penting dalam konsep manusia itu adalah kejelasan tujuan hidup manusia di dunia ini, bukan sekedar bayang-bayang semu sebagaimana bintang. Pembicaraan ini mengunakan bahasa pemikiran, yakni usaha manusia untuk memperoleh pengetahuan melalui tindakan nyatanya dalam merubah dunia. Hidup manusia yang mempunyai orientasi tertentu tidak sepenuhnya dimengerti sebagai peristiwa subjektif, objektif maupun mekanis, namun merupakan sebuah rangkaian peristiwa yang menjalin subjektivitas dan objektivitas. Orientasi tersebut menimbulkan pertanyaan kritis tentang apa sebenarnya tujuan hidup manusia di dunia ini.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Jika tujuan hidup binatang untuk berinteraksi dengan alam, maka tujuan hidup manusia adalah memanusiakan dunia melalui proses transformasi. Bintang tidak mempunyai kesadaran historis, tidak punya pilihan dan nilai dalam hidupnya, sedangkan manusia memiliki kesadaran sejarah dan nilai. Manusia memiliki memiliki (sense of project) sebagai lawan dari rutinitas instingstif-nya (instinctive routines) binatang. Tidak manusia yang tidak bertujuan, terlepas dari tujuan itu benar atau salah, mitos atau bukan, naif atau kritis tidak dikategorikan sebagai perilaku praksis, meskipun tindakan itu mungkin mempunyai kecenderungan tertentu.
Zappa menunjuk pada paradoks menyakitkan dalam sistem yang seharusnya mencerdaskan. Alih-alih memupuk rasa ingin tahu, melatih skeptisisme sehat, atau mendorong eksplorasi ide-ide yang berani, banyak sekolah justru sibuk membentuk individu yang patuh. Murid diajarkan untuk menghafal, mengulang, dan mengikuti instruksi tanpa mempertanyakan, demi nilai bagus atau kelulusan. Kebebasan berpikir—kemampuan untuk menganalisis, menantang, dan menciptakan solusi orisinal—seringkali terpinggirkan demi keseragaman dan kepatuhan.
Implikasinya sangat krusial di “Zaman Edan” ini. Jika pendidikan hanya mencetak robot yang taat, kita akan kekurangan inovator yang berani, pemimpin yang visioner, dan warga negara yang kritis. Kita akan menghasilkan generasi yang mudah termanipulasi, rentan terhadap dogma, dan tidak siap menghadapi kompleksitas dunia yang terus berubah.
Kutipan Zappa adalah seruan untuk revolusi pedagogis. Ini memaksa kita bertanya: Apakah tujuan sejati pendidikan kita adalah menciptakan barisan pekerja yang disiplin, ataukah kita ingin membebaskan potensi penuh setiap individu untuk berpikir, berkreasi, dan menantang status quo demi masa depan yang lebih baik.
Manusia ideal-khalifah Allah.
Manusia ideal manusia themorphis yang dalam pribadinya roh Allah telah memenangkan belahan dirinya yang berkaitan dengan iblis, dengan lempung dan lumpur endapan. Dia telah bebas dari bimbang dan kontradiksi antara “dua infinita” ,” Berakhlak dengan akhlak Allah” inilah keseluruhan filsafat pendidikan Kita, satu-satunya standar konvensional demi mendambakan berbagai karakteristik serta atribut Allah. Ia merupakan gerakan maju kearah sasaran mutlak dan kesempurnaan mutlak, suatu evolusi abadi dan tidak terhingga, bukan acuan dalam bentuk stereotip manusia seragam.
Manusia begini, manusia andalan ini, adalah manusia yang mempunyai dua dimensi, bagikan seekor burung yang mampu mengangkasa dengan kedua sayapnya. Dia bukan manusia dari budaya dan peradaban yang menumbuhkan manusia-manusia baik dan manusia-manusia kuat secara berpisah satu sama lain disatu pihak terdapat manusia yang ikhlas dan Saleh tetapi lemah hati nurani dan kesadarannya, dipihak lain ialah para jenius yang terpaksa dan cemerlang, tetapi jiwanya picik dan tenaganya berlumuran dosa. Di satu pihak ada manusia yang hatinya tercurah pada kehidupan batin, pada keindahan dan serba misteri rohaniah, tetapi hidupnya melarat, terhina dan lemah; seperti ratusan ribu nya pertapa India yang dengan serba keampuhan rohaniahnya dan keluhuran rasanya, namun senantiasa menjadi permainan dan tawanan yang memilukan ditangan segelintir kolonel inggris.
Sedangkan di fihak lain ialah mereka yang menguasai bumi, gunung-gunung, samudra dan angkasa, dengan kekuatan industri mereka, yang membuahkan kehidupan yang melimpah dan Megah, tetap batin mereka gersang dari rasa dan segala nilai, sedang kemampuan khas manusiawi untuk menangkap jiwa dunia, ke dalam hidup, keindahan, serta kepercayaan akan sesuatu yang lebih luhur daripada alam dan sejarah yang ada dalam diri mereka telah lemah-layu dan lumpuh. Hidup dan bergerak ditengah-tengah alam, sang manusia ideal jadi lebih memahami Allah; dia mencari serta memperjuangkan ummat manusia dan dengan demikian dia menemukan Allah. Dia tidak meninggalkan alam dan tidak mengabaikan ummat manusia. Ditangannya tergenggam pedangnya Caesar sedang dalam dadanya bermukim hat sang jesus.
Dia berfikir dengan otak Socrates dan mencintai Allah dengan senubari al-Hallaj. Sebagimana didambakan Alexis Carrel, dia adalah manusia yang paham akan keindahan ilmu dan keindahan Tuhan; dia memperhatikan kata-kata Pascal dan kata-kata Descartes. Bagaimana sang Buddha, dia bebas merdeka dari belenggu nafsu dan egoisme; bagaikan Lao tse, dia berefleksi tentang kedalaman fitrah primordialnya; dan bagaikan; kung Fu tse dia bermeditasi tentang nasib masyarakat.Bagaikan spartacus, dia memberontak terhadap para pemilik budak, dan bagaikan Abu Dzzar, ditebarkannya benih revolusi bagi mereka yang lapar bagaikan Musa, dia adalah pesuruh jihad dan pembahasan. Bagikan Jesus, dia membawa pesan cinta kasih dan perdamaian, dan pembebasan. (*)