OBI, Nalarsatu.com – Kasus dugaan pemerkosaan terhadap anak di bawah umur yang terjadi di Desa Akegula, Kecamatan Obi, Halmahera Selatan, mengguncang publik dan menjadi sorotan serius berbagai kalangan. Kepala Dinas Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak dan Keluarga Berencana (DP3AKB) Halmahera Selatan, Karima Nasaruddin, menegaskan komitmennya untuk mengawal proses hukum hingga tuntas.
“Ini pelanggaran berat terhadap hak anak dan tidak bisa ditoleransi. Kami akan pastikan proses hukum berjalan, dan korban mendapat perlindungan serta keadilan,” ujar Karima saat dihubungi media, Senin (30/6).
Menurut Karima, DP3AKB langsung bergerak cepat setelah menerima laporan resmi dari pihak keluarga korban. Koordinasi lintas sektor telah dilakukan bersama aparat penegak hukum, lembaga bantuan hukum, dan tenaga psikologis untuk memastikan penanganan kasus berjalan menyeluruh.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Berdasarkan informasi, laporan kasus tersebut telah masuk ke Polsek Obi sejak pertengahan Juni 2025, namun hingga kini belum ada tindakan tegas terhadap para pelaku yang diduga berjumlah lebih dari empat orang. Situasi ini memunculkan kekhawatiran bahwa proses hukum akan terhambat, sebagaimana yang kerap terjadi dalam kasus kekerasan seksual terhadap anak di daerah.
“Kami mendorong kepolisian mempercepat penyidikan. Kasus ini tidak boleh berlarut. Trauma korban bisa membekas seumur hidup jika tidak ditangani serius,” tegas Karima.
DP3AKB juga telah menurunkan tim pendamping untuk memberikan layanan trauma healing bagi korban dan keluarga. Di sisi lain, pendampingan hukum dilakukan melalui kerja sama dengan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) lokal.
“Kami pastikan korban tidak sendirian. Pendampingan psikologis dan hukum kami berikan secara beriringan,” tambah Karima.
Ia juga menyebut bahwa pihaknya terus menjalin koordinasi dengan Kapolres Halmahera Selatan agar hak-hak korban, termasuk keamanan dan perlindungan identitas, terjamin.
Di lapangan, suara masyarakat pun semakin lantang menuntut keadilan. Tokoh masyarakat Desa Buton, Bahar, menyampaikan bahwa kasus kekerasan seksual terhadap anak sering kali tidak ditangani secara serius. “Kami tidak ingin ini berakhir damai atau adat. Kami ingin keadilan ditegakkan,” ujarnya.
Kritik juga datang dari praktisi hukum sekaligus aktivis perempuan dan anak, Rosita Basarun, S.H. Ia menilai lambannya proses hukum bisa membuka ruang terjadinya penyelesaian non-yuridis yang merugikan korban.
“Ini bukan soal aib keluarga atau desa. Ini kejahatan terhadap kemanusiaan. Jangan sampai impunitas terjadi di depan mata kita,” kata Rosita.
Ia mengingatkan bahwa dalam kasus kekerasan seksual terhadap anak, negara memiliki tanggung jawab konstitusional dan moral untuk hadir dan melindungi korban, bukan justru diam atau membiarkan proses berjalan lambat.
Menutup pernyataannya, Karima menyerukan agar semua elemen pemerintah, masyarakat, tokoh adat, hingga media massabersatu untuk membasmi kekerasan terhadap anak di Halmahera Selatan.
“Ini tanggung jawab kolektif. Jangan ada lagi anak yang menjadi korban. Kita harus menjadikan Halsel sebagai tempat yang aman untuk tumbuh dan berkembang bagi semua anak,” tegasnya.