OBI, Nalarsatu.com – Perayaan Hari Bhayangkara ke-79 yang semestinya menjadi ajang refleksi atas profesionalisme dan dedikasi Kepolisian RI justru memperlihatkan potret buram di Kecamatan Obi, Kabupaten Halmahera Selatan. Alih-alih menunjukkan kinerja yang membanggakan, Polsek Obi justru menuai sorotan tajam akibat deretan kasus hukum serius yang tak kunjung terselesaikan.
Dugaan pemerkosaan terhadap anak, kasus sodomi oleh oknum guru, kekerasan terhadap perempuan, hingga penyalahgunaan wewenang dalam penanganan minuman keras ilegal, mengendap di meja Polsek tanpa arah penyelesaian yang jelas. Kondisi ini memantik reaksi keras dari kalangan hukum.
Praktisi hukum dan Pengacara muda Maluku Utara, Bambang Joisangadji, S.H., menilai kondisi penegakan hukum di Obi mengalami kemunduran serius. Ia menyebut bahwa pembiaran terhadap berbagai kasus tersebut bukan sekadar kelalaian, tetapi bentuk kegagalan struktural yang menuntut evaluasi segera.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
“HUT Bhayangkara seharusnya jadi ajang evaluasi, bukan perayaan simbolik semata. Kasus-kasus berat yang menyangkut perempuan dan anak justru diabaikan. Ini mencederai mandat konstitusional kepolisian sebagai pelindung rakyat,” kata Bambang kepada Nalarsatu.com, Senin (30/6).
Bambang secara spesifik menyoroti lambannya penanganan kasus dugaan pemerkosaan terhadap anak di Desa Akegula, yang dilaporkan ke Polsek Obi sejak 13 Juni 2025 melalui STPL/30/K/VI/2025. Enam orang terduga pelaku disebut masih bebas berkeliaran di lingkungan korban, tanpa perlindungan hukum yang memadai.
“Kepolisian seharusnya responsif terhadap kasus-kasus yang menyangkut keselamatan anak. Pasal 81 dan 82 UU No. 35 Tahun 2014 jelas memberikan landasan hukum kuat untuk penindakan. Ketika aparat tidak bergerak, berarti ada yang salah secara sistemik,” tegasnya.
Tak hanya itu, Bambang menyebut bahwa pola pembiaran juga terlihat dalam kasus sodomi oleh seorang guru di Obi dan kekerasan dalam rumah tangga di Desa Anggai, yang justru berujung pada kriminalisasi keluarga korban karena aksi pembalasan pribadi.
“Frustrasi terhadap lambatnya penanganan hukum telah mendorong warga bertindak sendiri. Ini bukan hanya bentuk kegagalan penegakan hukum, tapi juga cermin dari hilangnya kepercayaan publik terhadap aparat,” ujar Bambang.
Ia juga mengkritisi macetnya proses hukum dalam OTT pelanggaran Perda tentang miras ilegal. Padahal, kata dia, kasus semacam itu justru bisa menjadi pintu masuk bagi kepolisian untuk membuktikan ketegasan dan integritas mereka.
“Alih-alih jadi contoh keberanian, justru dibiarkan mengambang. Ini menunjukkan lemahnya kemauan politik internal Polsek Obi untuk menegakkan aturan secara konsisten,” ucapnya.
Menurut Bambang, kondisi tersebut tidak sekadar mencoreng nama Polsek Obi, tetapi juga menjadi catatan buruk bagi Kapolres Halmahera Selatan dan Polda Maluku Utara. Ia mendesak agar dilakukan evaluasi total terhadap kepemimpinan di tingkat sektor.
“Kapolres harus kirim personel yang benar-benar berintegritas ke Obi. Cukup sudah masyarakat hidup dalam ketidakpastian hukum. Jangan beri jabatan strategis kepada anggota yang tidak memiliki sensitivitas terhadap keadilan,” tegasnya.
Mengutip Pasal 13 UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, Bambang menegaskan bahwa fungsi utama kepolisian adalah memelihara keamanan, menegakkan hukum, serta memberikan perlindungan dan pengayoman.
“Kalau semua fungsi itu gagal dijalankan, untuk apa institusi ini hadir di tengah masyarakat? Yang dibutuhkan warga bukan upacara seremonial, tapi keberanian dalam menegakkan keadilan,” tukasnya.
Desakan publik dan keresahan korban yang terus bertambah, suara untuk reformasi di tubuh kepolisian lokal makin menguat. Evaluasi kinerja Polsek Obi dinilai bukan sekadar kebutuhan administratif, tetapi prasyarat mutlak untuk memulihkan kepercayaan publik.
“Jangan tunggu korban berikutnya. Jangan tunggu masyarakat bertindak sendiri. Tegakkan hukum sebelum hukum kehilangan maknanya,” tutup Bambang.