Halsel,Nalarsatu.com – Praktisi hukum Maluku Utara, Bambang Joisangadji S.H, angkat bicara terkait mencuatnya dugaan korupsi dalam penyaluran Bantuan Pangan Non-Tunai (BPNT) di Kecamatan Obi dan Obi Selatan, Kabupaten Halmahera Selatan. Menurutnya, apa yang terjadi bukan sekadar kelalaian administratif, tapi sudah mengarah pada korupsi terstruktur dan sistematis yang menyasar langsung hak-hak warga miskin.
“Ini bukan soal keterlambatan. Ini sudah pola korupsi model baru, di mana data resmi dari Kementerian Sosial dijadikan alat tipu-tipu. Warga tidak menerima haknya, tetapi secara administratif dana dianggap sudah ‘disalurkan’. Ini pembohongan publik dan penggelapan uang negara,” ujar Bambang saat diwawancarai, Sabtu (15/6).
Ia menilai, peran sejumlah pihak seperti pendamping sosial dan oknum di tubuh PT Pos Indonesia patut diusut. Fakta bahwa penerima terdaftar tetapi tidak mendapatkan dana, serta tidak adanya berita acara yang sah dan dokumentasi pencairan, merupakan indikasi kuat adanya rekayasa sistemik.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
“Modusnya klasik: KPM ada, bantuannya ‘dicairkan’, tapi tidak sampai ke tangan rakyat. Lalu, dijustifikasi dengan istilah ‘gagal bayar’ dan dikembalikan ke kas negara. Kalau memang dikembalikan, mana buktinya? Mana dokumentasi bahwa warga diberi kesempatan layak untuk mengambil haknya?” tegasnya.
Bambang juga menyesalkan komentar melecehkan dari staf PT Pos Laiwui terhadap warga penerima bantuan. Menurutnya, hal itu mencerminkan minimnya empati dan penghinaan terhadap rakyat kecil.
“Komentar seperti itu bisa masuk kategori penghinaan dan pelanggaran etika pelayanan publik. Warga miskin bukan objek main-main, mereka adalah pemilik sah dari hak konstitusional untuk dibantu negara,” ucapnya dengan nada tinggi.
Lebih lanjut, Bambang menekankan bahwa kasus seperti ini tidak boleh berhenti pada permintaan maaf atau rotasi jabatan, tetapi harus diproses dengan sanksi hukum yang tegas, sesuai dengan ketentuan dalam UU Tindak Pidana Korupsi (UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001).
“Kalau terbukti ada penyalahgunaan dana bantuan sosial, pelakunya bisa dijerat Pasal 2 dan Pasal 3 UU Tipikor, dengan ancaman hukuman minimal 4 tahun dan maksimal 20 tahun penjara, ditambah denda hingga Rp 1 miliar. Ini bukan pelanggaran biasa, ini perampokan uang negara dan pengkhianatan terhadap rakyat,” jelasnya.
Bambang menambahkan bahwa keterlibatan lebih dari satu pihak, mulai dari pendamping hingga oknum penyedia jasa penyalur, berpotensi menjadi perkara korupsi berjamaah yang harus ditangani secara serius oleh penyidik tindak pidana korupsi.
“Ini korupsi sistemik, bukan individu. Harus ada pertanggungjawaban kolektif, tidak bisa hanya berhenti di staf lapangan. Penanggung jawab program dan pihak-pihak yang seharusnya melakukan pengawasan juga mesti dimintai pertanggungjawaban,” tegas Bambang.
Bambang menyerukan agar APH (Aparat Penegak Hukum) segera mengambil langkah konkret:
1. Memanggil seluruh pihak terkait, dari pendamping BPNT, pihak PT Pos, hingga pejabat dinsos di tingkat kabupaten.
2. Mengusut aliran dana, apakah benar dikembalikan ke kas negara atau disalahgunakan.
3. Melibatkan Inspektorat dan BPKP untuk audit khusus dana BPNT di Obi dan Obi Selatan sejak 2023.
4. Memberikan perlindungan hukum bagi warga pelapor, agar mereka tidak mendapat intimidasi.
“Jika APH tidak segera bertindak, maka ini adalah pembiaran terhadap perampasan hak rakyat. Jangan sampai hukum hanya tajam ke bawah tapi tumpul ke atas,” pungkas Bambang.
Ia juga mendorong agar Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) ikut memantau kasus ini karena menyangkut uang negara dan program nasional dari Kementerian Sosial.