Ternate, Nalarsatu.com Musyawarah Besar (Mubes) Ke-IV Forum Mahasiswa Pascasarjana Maluku Utara (Formapas Malut) Se-Jabodetabek-Banten tahun 2025–2027 bukanlah sekadar perhelatan seremonial dua tahunan. Lebih dari itu, Mubes menjadi ruang dialektika intelektual dan momentum strategis menentukan arah organisasi, program kerja, serta watak perjuangan Formapas ke depan.
Sebagai organisasi kedaerahan berbasis intelektual, Formapas lahir dari semangat kebersamaan, komunikasi, dan pengembangan potensi. Tema besar Mubes kali ini, “Revitalisasi Formapas: SDM Unggul, Maluku Utara Maju”, bukan sekadar slogan. Ia lahir dari pertemuan-pertemuan gagasan yang tumbuh di ruang-ruang diskusi mahasiswa pascasarjana Maluku Utara, termasuk di kantor perwakilan Malut, Cempaka Putih, Jakarta Pusat. Tema ini menjadi cermin dari kebutuhan organisasi untuk tidak hanya berkumpul, tetapi juga bertindak.
Dalam konteks itulah, Sandi Naim, mahasiswa Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Jakarta, menyatakan kesiapannya maju sebagai Calon Ketua Umum Formapas. Dengan mengusung misi besar “Formapas sebagai alat instrumen perjuangan”, Sandi membawa semangat baru yang ingin menjadikan organisasi ini lebih berdaya guna dan berdampak luas.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
“Formapas bukan tempat untuk mengamankan kepentingan kelompok tertentu. Ia harus menjadi alat perjuangan untuk membuka akses pendidikan dan memberdayakan generasi muda Maluku Utara,” tegas Sandi.
Bagi Sandi, organisasi mahasiswa tidak boleh hanya menjadi menara gading. Ia harus bersentuhan langsung dengan denyut persoalan masyarakat, terutama ketidakadilan yang masih dialami daerah-daerah seperti Maluku Utara. Pendidikan, menurutnya, adalah jalan utama menuju perubahan sosial. Namun, akses terhadap pendidikan terutama bagi anak-anak Maluku Utara di luar daerah masih menjadi tantangan besar, baik dari segi biaya, fasilitas, hingga dukungan kebijakan.
“Pendidikan gratis lebih banyak difokuskan di Pulau Jawa. Lalu, bagaimana dengan kami di Timur? Bukankah kami juga warga negara?” ungkapnya.
Sandi mengutip sastrawan besar Pramoedya Ananta Toer sebagai pengingat bahwa tugas kaum terpelajar adalah merawat nalar kemanusiaan. “Kalau kemanusiaan tersinggung, semua orang yang berperasaan dan berfikiran waras ikut tersinggung, kecuali orang gila dan orang yang berjiwa kriminal, biarpun dia sarjana,” kutip Sandi dengan penuh makna.
Lebih lanjut, ia menegaskan bahwa sumber daya alam (SDA) Maluku Utara memang bisa habis, tapi pendidikan generasi muda tidak boleh lenyap. Negara, dalam hal ini pemerintah pusat, menurutnya punya tanggung jawab besar dalam menciptakan ekosistem pendidikan yang inklusif dan adil. Peran ini tidak hanya dibebankan pada institusi negeri, tetapi juga melibatkan sektor swasta, masyarakat sipil, dan tentu saja mahasiswa sebagai agen perubahan.
Melalui Formapas, Sandi ingin mendorong gerakan intelektual yang tidak elitis, tetapi berpihak. Berpihak pada mereka yang terpinggirkan oleh sistem. Ia ingin menjadikan Formapas sebagai ruang perjuangan kolektif, bukan sekadar forum nostalgia kedaerahan.
“Saya maju bukan untuk mencari kekuasaan, tetapi untuk menyatukan potensi. Kita perlu organisasi yang bersuara, bukan membisu. Formapas harus menjadi lidah bagi kepentingan pendidikan dan masa depan Maluku Utara.”
Dengan visi tersebut, Sandi mengajak seluruh mahasiswa pascasarjana Maluku Utara di Jabodetabek-Banten untuk bersama-sama membangun Formapas sebagai rumah perjuangan yang kritis, progresif, dan transformatif. Ia yakin, perubahan hanya bisa terjadi jika kita mulai dari ruang-ruang kecil dengan semangat besar. (Red/BM)