OBI, Nalarsatu.com – Lambannya penanganan kasus kekerasan seksual terhadap anak oleh Kepolisian Sektor (Polsek) Pulau Obi menui kecaman keras dari sejumlah kalangan termasuk dari politisi asal Pulau Obi.
Muhammad Saleh Nijar Anggota DPRD Kabupaten Halmahera Selatan yang juga putra Obi ini merasa geram atas lambannya penanganan kasus kekerasan seksual terhadap anak yang ditangani Polsek Pulau Obi. Menurutnya, kasus kekerasan seksual terhadap perempuan dan anak seperti ini makin marak terjadi dan angkanya cukup tinggi di Halmahera Selatan.
“Kasus kekerasan seksual terhadap perempuan dan anak seperti yang terjadi di Obi itu semakin marak di Halmahera Selatan, ini masalah kemanusiaan yang harus menjadi atensi dan perhatian serius dari seluruh stekholder,” ujar MS.Nijar pada Nalarsatu.com Sabtu (12/7).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Menanggapi dugaan adanya upaya mediasi yang dilakukan oleh sejumlah oknum anggota Polsek Pulau Obi terhadap orang tua korban, Sekretaris Fraksi PKB DPRD Halmahera Selatan mengungkapkan bahwa itu tindakan yang sangat keliru yang menunjukan ketidak pahaman oknum anggota Polsek Obi tentang proses penegakan hukum atas kasus-kasus kekerasan seksual terhadap perempuan dan anak.
“Kasus kekerasan seksual terhadap anak jika dilihat dari perspektif hukum pidana tidak ada ruang sedikitpun untuk diselesaikan melalui mediasi dan/atau restorative justice (RJ), karena kasus kekerasan seksual terhadap anak merupakan lex spesialis dan kategori kejahatan luar biasa (extra ordinary crime)”.ungkap,MS.Nijar.
Lanjut Nijar, posisi kasus tersebut dalam konteks hukum pidana merupakan delik biasa yang mana perbuatan para terduga pelaku ini tidak harus dilaporkan oleh korbannya. Artinya siapa saja yang mengetahui bahwa perbuatan pemerkosaan terhadap anak dibawah umur telah dilakukan oleh seorang atau lebih maka dapat melaporkan kejadian tersebut dan pihak kepolisian harus melakukan proses hukum tanpa menunggu persetujuan dari yang dirugikan (korban).
“Iya, terkait kasus kekerasan seksual terhadap anak ini tentu kita harus merujuk pada ketentuan UU Nomor 23 Tahun 2002 sebagaimana diubah menjadi UU Nomor 35 Tahun 2014 dan Perubahan Kedua menjadi Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 1 Tahun 2016 dan ditetapkan sebagai Undang-undang Nomor 17 Tahun 2016 Tentang Perlindungan Anak yang mana dalam Pasal 76D UU 35/2014 menyatakan [bahwa setiap orang dilarang melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain] dan Pasal 76E UU 35/2014 menyatakan [bahwa setiap orang dilarang melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan, memaksa, melakukan tipu muslihat, melakukan serangkaian kebohongan, atau membujuk anak untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul], ancaman hukuman dari perbuatan tersebut diatur dalam Pasal 81 dan Pasal 82 Perpu 1 Tahun 2016 dengan ancaman pidana penjara paling singkat 5 tahun dan maksimal 15 tahun”, jelas Nijar.
Publik berharap Polda Malut perlu melakukan supervisi atas penanganan kasus kekerasan seksual terhadap anak dibawah umur yang ditangani Polsek Pulau Obi, sehingga proses penanganan kasus ini berjalan sesuai dengan prosedur hukum dan peraturan perundang-undangan yang berlaku sehingga ada efek jera bagi pelaku dan menjadi pelajaran bagi kita semua. (red/Azu)