Krisisnya Maluku Utara, Di Ambang Kepunahan Spesies

- Penulis Berita

Kamis, 29 Mei 2025 - 03:05 WIT

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Oleh : Aby Ahmad Ketua GMNI kormisariat Universitas Muhammadiya Maluku Utara. 

(Meneropong Ekspansi Pertambangan, Masa Depan Bidadari Halmahera, Togutil Beserta Masyarakat Adat Lainnya! Berada di Ambang Kepunahan.) 

Semilir angin berhembus perlahan, pelan-pelan, pelan sekali. Seolah sedang mendendangkan lagu dengan melodi nan syahdu di sepertiga malam, untuk mengajak dedaunan menari bersama lantunan irama musik, di bawakan deburan ombak yang pasang menyentuh bibir pantai penuh kemesraan dengan kelembutan yang khas. Yang menceritakan tentang kehidupan biota laut, dengan kisah ikan sedang bercumbu mesra di balik karang.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Namun di balik nanyian-nyayian itu ada se-ekor burung Bidadari Halmahera sedang gundah memikirkan masa depannya, di atas pohon pedalaman hutan Halmahera, yang kini mulai gundul dan sudah tak lagi rindang pepohonannya. Sebabnya sebagaimana di beritakan oleh salah satu media di maluku utara, kalau sementara bidadari Halmahera atau dalam bahasa latin “Semioptera wallacii”, kini terancam punah.

Lantas jika menilisik lebih dalam asal muasal kenapa hal tersebut di atas bisa terjadi, bukan akibat daripada kurangnya minat kawin dari pejantan terhadap betinanya ataupun sebaliknya. Melainkan kehadiran pertambangan yang kemudian itu di lakukan dalam hutan Halmahera yang kian hari kian bertambah luas. dan tidak menutup kemungkinan dengan berakhir kehidupan daripada Bidadari Halmahera, akan di susul dengan berakhir pula suku nomaden (Togutil) di pedalaman Halmahera dan masyarakat pada umumnya. Sebab beroperasinya pertambangan di hutan Halmahera yang berkembang gila-gila’an bersamaan dengan penebangan hutan berlebihan yang telah menyebabkan deforestasi hutan, secara langsung akan mendatangkan bencana banjir yang sudah tentu berakibat pada kehilangan rantai makanan, serta tempat tinggal yang di butuhkan. baik itu, oleh jenis fauna seperti bidadari halmahera dan manusia seperti masyarakat suku nomaden (Togutil) disana. Belum lagi di tambah dengan luas wilayah yang semakin di persempit tersebut akan berakibat fatal pada kehilangan mata pencaharian masyarakat setempat, sebagai petani, yang notabenenya menggunakan hutan untuk lahan pertanian. Bahkan ekstrimnya bisa jadi menimbulkan konflik pada sesama masyarakat karena berebut tanah untuk lahan pertanian.

Mungkin tulisan ini di anggap terlalu berlebihan oleh sebagian masyarakat, apalagi pemerintah setempat yang memiliki kepentingan pertambangan disana, atau bisa jadi semisal sebut saja Gubernur Maluku Utara pribadi Sherly Tjoanda yang sudah jelas memiliki perusahan pertambangan di dataran Halmahera sebagai salah satu contohnya, PT. Wijaya Karya, barangkali tidak bisa menerima apa yang saya sebutkan di atas. Akan tetapi, perlu di ingat! ini bisa menjadi benar adanya, dan akan terbukti terjadi suatu saat nanti.

Apabila tambang dikelola terus menerus tanpa pertimbangan aspek kerusakan lingkungan yang ditimbulkan bersamaan pula tanpa perhitungan keberadaan spesies bidadari halmahera dan masyarakat togutil serta masyarakat adat yang lainnya. Yakinlah bahwa yang di katakan dan tercantum disini tidak sebatas bualan semata, bila melihat fenoma banjir bandang yang beberapa tahun terakhir melanda dataran Halmahera sudah bisa menjadi satu bukti otentik untuk di benarkan akan terjadinya suatu tragedi di masa mendatang.

Bahkan, mirisnya suatu kelak jikalau pertambangan yang ada disana masih saja terus beroperasi dalam jangka waktu sepuluh sampai dua puluh tahun kedepan tanpa henti. sudah tentu, tidak menutup kemungkina tatkala kita berbicara tentang bidadari halmahera mungkin hanya akan berpacu pada romantisasi cerita masa lalu seperti legenda burung Phoinex dari mesir. dan pula beserta suku Togutil sebagai masyarakat nomaden asli pulau Halmahera akan bernasib sama tragisnya dengan suku Indian di Amerika atau bahkan bisa jadi akan seperti suku Aborogin di australia, yang hanya akan menjadi catatan kelam dalam sejarah.

Maka untuk mengantisipasi terjadinya hal sedemikian rupa seperti yang telah penulis cantumkan di atas. Kiranya, pemprov maluku utara sesegera mungkin mengambil satu kebijakan “yang bersifat memaksa” untuk adanya pemulihan kembali lahan tempat penambangan dari pihak perusahan yang beroperasi di dataran Halmahera, agar memungkinkan kembalinya penghijauan di hutan Halmahera. Yang saat ini sudah tidak lagi baik-baik saja, dan telah mengarah kepada kerusakan hutan yang berlebihan secara permanen. Olehnya itu, yang menjadi solusi altrenatif lainnya. yaitu; semisal dengan mengurangi pertambangan yang ada di Halmahera. Namun apabila pemprov mengabaikan hal ini, maka bisa kita duga dengan berasumsi barangkali pemprov adalah bagian daripada perpanjangan tangan oligarki pemerintahan pusat yang dengan konsep hilirisasi pertambangan menjadikan hutan halmahera sebagai hutan perawan yang direngut paksa keperawannanya.

Akan tetapi, apabila dalam hal ini pemprov telah menginsiasi terjadinya pemulihan hutan di dataran halmahera namun di tolak oleh pemerintahan pusat dan korporat pertambangan. berarti itu sebuah pertanda, barangkali sudah semestinya maluku utara menyatakan sikap secara tegas akan kemerdekaannya dari indonesia dalam bentuk referendum. Dan apa yang di sampaikan penulis disini bukan sekedar suatu konsep terkaan tanpa dasar. Akan tetapi, memang sudah pada sejarahannya maluku utara yang di kenal dengan julukan “Jajirah Al-Mulk” tidak lain adalah negeri penghasil rempah-rempah yang pernah menjadikan wilayah maluku utara sebagai sentral pertumbuhan ekonomi global pada masa itu, bahkan sampai sempat pernah wilayah maluku utara pada suatu masa menjadi perebutan bangsa-bangsa eropa bebarapa abad yang lalu. Belum lagi bila di tambah dengan proses bergabungnnya maluku utara di pangkuan NKRI yang sekaligus merupakan tonggak penyatuan terhadap wilayah Papua masuk kedalam pangkuan Indonesia yang hari ini kenal. Maka sudah sewajarnya jasa tersebut seharusnya tidak boleh di lupakan oleh pemeritah Indonesia, Sehingga apabila Maluku Utara menolak pertambangan dan konsep hilirisasi di wilayahnya sudah seharusnya di dengar.

Dan pun semua penolakan ini bukan tanpa alasan ketidaksukaan semata-mata, tapi karena kehadiran tambang tidak dapat menjamin kesejahteraan masyarakat di lingkungan pertambangan. Malah terdapat bebagai macam ketidakadilan dalam bentuk perampasan tanah, contohnya; yang baru-baru ini terjadi di Haltim Maluku Utara, yang dilakuan PT. Position dengan penggusuran lahan tanpa sepengatahuan dan persetujuan atas warga yang punya tanah. Sementara telah di ketahui bersama kalau Maluku Utara, bukan hutan rimba tanpa orang, bukan pula tanpa fauna berharga disana. melainkan ada penghuninya, ada tuan tanahnya.
Kemudian untuk merealisasikan apa yang menjadi pandangan penulis di atas. Kiranya, maluku utara tidak membutuhkan suatu janji politik sebatas drama tangis-tangisan di depan kamera apalagi di lakukan oleh Pemprov Maluku Utara, yang konon katanya peduli akan rakyat. Jadi harapannya jangan sampai kejadian seperti itu terjadi karena yang di butuhkan adalah sikap tegas Pemprov melakukan penertiban terhadap perusahan-perusahan pertambangan yang ada di maluku utara, tepatnya di Halmahera. Itulah demikian yang di nantikan oleh masyarakat dari Pemprov terutama Gubernurnya.

Serta konsep tersebut diatas, tidak sekedar untuk bahan wacana agar gubernur dapat menyampaikan pendapat berupa pidato-pidato melalui conference pers, di berbagai macam media maupun media sosialnya. Karena, sejatinya maluku utara tidak membutuhkan akan adanya seorang pemimpin “selebiriti” di sini, yang di butuhkan adalah kerja nyata yang itu berdampak pada kesejahteraan masyarakat dan terhadap penyelamatan ruang hidup. baik terhadap fauna Bidadari Halmahera, manusia suku nomaden togutil, dan masyarakat adat serta seluruh masyarakat maluku utara pada umumnya. Mengingat spesies yang ada di maluku utara telah menjadi tamu di rumahnya sendiri, dan terancam punah di atas tanahnya sendiri. (*)

Facebook Comments Box

Berita Terkait

Pendidikan Mengimplikasikan Konsep Tentang Manusia dan Dunia
Ternate dan Krisis Drainase
Kerusakan Alam di Maluku Utara : Antara Kekayaan dan Ancaman
Melampaui Rudal : Konflik Iran–Israel dan Pertarungan di Dunia Tanpa Wajah
Dilema Pendidikan ditegah Masyarakat Taliabu : Antara Tambang dan Kampus
“Merdeka Seratus Persen”: Saat Rakyat Dijual Gubernur dan Kapitalis Asing
Hilirisasi Nikel, Budaya, dan Pendidikan di Maluku Utara: Sebuah Dilema Pembangunan
Program Bahasa Mandarin sebagai Upaya GAMKI Halsel Melihat Massa Depan
Berita ini 40 kali dibaca

Berita Terkait

Rabu, 25 Juni 2025 - 05:05 WIT

Pendidikan Mengimplikasikan Konsep Tentang Manusia dan Dunia

Selasa, 24 Juni 2025 - 23:13 WIT

Ternate dan Krisis Drainase

Selasa, 24 Juni 2025 - 14:30 WIT

Melampaui Rudal : Konflik Iran–Israel dan Pertarungan di Dunia Tanpa Wajah

Senin, 23 Juni 2025 - 12:59 WIT

Dilema Pendidikan ditegah Masyarakat Taliabu : Antara Tambang dan Kampus

Senin, 23 Juni 2025 - 12:52 WIT

“Merdeka Seratus Persen”: Saat Rakyat Dijual Gubernur dan Kapitalis Asing

Minggu, 22 Juni 2025 - 07:45 WIT

Hilirisasi Nikel, Budaya, dan Pendidikan di Maluku Utara: Sebuah Dilema Pembangunan

Kamis, 29 Mei 2025 - 04:14 WIT

Program Bahasa Mandarin sebagai Upaya GAMKI Halsel Melihat Massa Depan

Kamis, 29 Mei 2025 - 03:35 WIT

Penindasan Yang Tak Berujung

Berita Terbaru

Opini

Ternate dan Krisis Drainase

Selasa, 24 Jun 2025 - 23:13 WIT