Hilirisasi Nikel, Budaya, dan Pendidikan di Maluku Utara: Sebuah Dilema Pembangunan

- Penulis Berita

Minggu, 22 Juni 2025 - 07:45 WIT

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Oleh : Muhammad Wahyudin – Mahasiswa Pendidikan Pancasila Dan Kewarganegaraan FKIP Unkhair Ternate

MALUKU Utara merupakan salah satu provinsi yang diberkahi kekayaan sumber daya alam (SDA) melimpah, khususnya hasil tambang seperti nikel. Namun, provinsi ini tidak hanya kaya secara alamiah, melainkan juga memiliki sumber daya manusia (SDM) yang berakar kuat dalam nilai-nilai budaya dan filosofi lokal. Kekayaan budaya ini tercermin dalam seni, bahasa, tradisi, serta cara hidup masyarakat yang menjunjung tinggi nilai kekeluargaan dan spiritualitas. Sayangnya, di tengah proses industrialisasi yang massif, khususnya melalui proyek hilirisasi nikel, Maluku Utara menghadapi tantangan serius. Bukan hanya dari sisi lingkungan dan sosial, tetapi juga pada sektor pendidikan dan pelestarian budaya yang kian terpinggirkan.

Budaya di Maluku Utara bukan sekadar warisan leluhur, melainkan identitas kolektif yang hidup dan membentuk karakter masyarakat. Ia diwariskan lintas generasi sebagai benteng dalam menghadapi derasnya arus globalisasi dan penetrasi industri yang kerap tidak memedulikan nilai-nilai lokal. Dalam masyarakat Maluku Utara, budaya tumbuh beriringan dengan tingkat spiritualitas yang tinggi. Ia bukan hanya soal ekspresi artistik, tetapi juga menyentuh aspek etika, hukum sosial, hingga cara pandang terhadap kehidupan. Sayangnya, ketika budaya mulai dikalahkan oleh logika industri dan modernitas yang tak terfilter, maka masyarakat kehilangan arah dan identitas.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Pendidikan sejatinya adalah alat untuk membebaskan manusia dari kebodohan, ketertindasan, dan keterbelakangan. Dalam Undang-Undang No. 20 Tahun 2003, pendidikan didefinisikan sebagai usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan proses belajar yang mengembangkan potensi peserta didik secara aktif dan baik spiritual, intelektual, maupun keterampilan hidup.

Di Maluku Utara, pendidikan dan budaya merupakan dua entitas yang tidak bisa dipisahkan. Sayangnya, kualitas pendidikan di wilayah lingkar tambang justru menunjukkan gejala kemunduran. Akses pendidikan yang terbatas, minimnya fasilitas, serta tergesernya minat belajar akibat daya tarik ekonomi tambang menjadi tantangan serius. Banyak generasi muda lebih memilih bekerja di sektor pertambangan dengan pendidikan minim, ketimbang menempuh pendidikan formal jangka panjang.

Pemerintah terus mendorong hilirisasi nikel di Maluku Utara sebagai bagian dari strategi pembangunan nasional. Tujuannya adalah meningkatkan nilai tambah SDA dengan mengolahnya di dalam negeri sebelum diekspor. Namun, realitas di lapangan menunjukkan hasil yang jauh dari harapan. Konflik sosial yang terus berkepanjangan, perampasan ruang hidup yang semakin masif, limbah tambang yang terus mencemari udara, sungai dan laut yang mempengaruhi hasil pendapatan masarakat petani dan nelayan, ketimpangan regulasi yang menguntungkan segelitir elit, masarakat di keriminalisasi atas hak dan membela tanahnya. Ini menunjukan bahwa Maluku Utara dalam keadaan darurat dimana masyarakat terus terisolasi, sementara penjabat dan aparat terus berkaya dan kaya di ruang-ruang oligarki.

Masyarakat yang tinggal di sekitar kawasan Proyek Strategis Nasional (PSN) di Maluku Utara semakin pesimis dan kaku terhadap pemerintahan, baru dalam menangani dampak lingkungan akibat industri pertambangan. Alih-alih membawa kesejahteraan justru memperburuk kondisi lingkungan. Diketahui, Maluku Utara menjadi salah satu daerah dengan proyek strategis nasional yang besar.

Berdasarkan Peraturan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Nomor 21 Tahun 2022, sekurangnya ada enam PSN yang ada di wilayah Halmahera Selatan, Halmahera Tengah, dan Halmahera Timur. Ekspansi industri nikel di wilayah seperti Pulau Obi (Halmahera Selatan), PT.Weda Bay Nikel (Halmahera Tengah), hingga Smelter PT Aneka Tambang (Antam) dan PT Antam Niterra Haltim (Halmahera Timur) justru menyisakan luka ekologis, konflik sosial, dan ketimpangan ekonomi. Polusi udara, air, dan tanah akibat limbah tambang mengganggu proses belajar di sekolah dan merusak kesehatan masyarakat. Konflik agraria dan perampasan ruang hidup juga makin marak, sementara masyarakat lokal hanya menjadi penonton dari kekayaan alam yang dikuras habis.

Masyarakat tidak pernah menolak pembangunan, akan tetapi menolak kehadiran perusahaan tambang operasi nikel, karena pertambangan pada dasarnya merusak dan merampas ruang hidup masyarakat Maluku Utara, menghancurkan alam, merusak lingkungan, budaya dan pendidikan tidak memberikan dampak ekonomi yang berkaitan dengan distribusi kesejahteraan secara merata, justru masyarakat Maluku Utara semakin miskin.
Ironisnya, daerah yang menjadi pusat industri nikel justru menunjukkan angka kemiskinan tertinggi. Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Maluku Utara tahun 2024, jumlah penduduk miskin mencapai 79,69 ribu orang. Kabupaten Halmahera Tengah mencatat tingkat kemiskinan sebesar 10,71%, sementara Halmahera Timur lebih tinggi lagi, yakni 11,91%. Ini menunjukkan bahwa hilirisasi tidak otomatis meningkatkan kesejahteraan masyarakat lokal.

Industri ekstraktif telah mempercepat pergeseran nilai dalam masyarakat. Migrasi besar-besaran tenaga kerja dari luar daerah dan asing, serta dominasi kepentingan ekonomi, telah mengubah pola interaksi sosial dan melemahkan ikatan budaya tradisional. Ritual adat mulai ditinggalkan, tanah ulayat diubah menjadi kawasan industri, dan narasi kearifan lokal tergantikan oleh logika kapital.

Dari sisi pendidikan, situasinya tidak kalah mengkhawatirkan. Fasilitas pendidikan tertinggal jauh dibanding megahnya smelter dan jalan tambang. Belum lagi pendidikan kejuruan dan vokasi yang belum disesuaikan dengan kebutuhan lokal secara berkelanjutan. Akibatnya, generasi muda kehilangan motivasi belajar dan orientasi masa depan yang lebih berkelanjutan.

Saya sendiri mengalami kegelisahan sebagai bagian dari masyarakat yang menyaksikan langsung ketimpangan ini. Rasa putus asa terhadap sistem pendidikan sempat muncul, tetapi kesadaran bahwa pendidikan adalah alat perlawanan dan pembebasan menjadi titik balik. Seperti dikatakan oleh Murtadha Muthahhari, pendidikan yang benar adalah yang memanusiakan manusia dan mengajarkan perlawanan terhadap kezaliman. Tanpa itu, pendidikan hanyalah instrumen pengabdi kekuasaan.

Pembangunan sejati harus berakar pada budaya lokal dan didorong oleh kekuatan pendidikan. Tanpa perlindungan terhadap keduanya, hilirisasi nikel hanya akan menjadi bentuk baru kolonialisme ekonomi: merampas sumber daya, merusak lingkungan, dan memiskinkan masyarakat.

Maluku Utara membutuhkan pembangunan yang berkeadilan, bukan hanya demi angka pertumbuhan ekonomi, tetapi demi kelangsungan hidup masyarakatnya yang berbudaya dan berpendidikan. Budaya dan pendidikan bukan penghambat kemajuan, justru keduanya adalah kunci agar pembangunan tidak kehilangan arah dan tidak merusak masa depan anak cucu. (*)

Facebook Comments Box

Berita Terkait

Pendidikan Mengimplikasikan Konsep Tentang Manusia dan Dunia
Ternate dan Krisis Drainase
Kerusakan Alam di Maluku Utara : Antara Kekayaan dan Ancaman
Melampaui Rudal : Konflik Iran–Israel dan Pertarungan di Dunia Tanpa Wajah
Dilema Pendidikan ditegah Masyarakat Taliabu : Antara Tambang dan Kampus
“Merdeka Seratus Persen”: Saat Rakyat Dijual Gubernur dan Kapitalis Asing
Program Bahasa Mandarin sebagai Upaya GAMKI Halsel Melihat Massa Depan
Penindasan Yang Tak Berujung
Berita ini 54 kali dibaca

Berita Terkait

Rabu, 25 Juni 2025 - 05:05 WIT

Pendidikan Mengimplikasikan Konsep Tentang Manusia dan Dunia

Selasa, 24 Juni 2025 - 23:13 WIT

Ternate dan Krisis Drainase

Selasa, 24 Juni 2025 - 16:26 WIT

Kerusakan Alam di Maluku Utara : Antara Kekayaan dan Ancaman

Senin, 23 Juni 2025 - 12:59 WIT

Dilema Pendidikan ditegah Masyarakat Taliabu : Antara Tambang dan Kampus

Senin, 23 Juni 2025 - 12:52 WIT

“Merdeka Seratus Persen”: Saat Rakyat Dijual Gubernur dan Kapitalis Asing

Minggu, 22 Juni 2025 - 07:45 WIT

Hilirisasi Nikel, Budaya, dan Pendidikan di Maluku Utara: Sebuah Dilema Pembangunan

Kamis, 29 Mei 2025 - 04:14 WIT

Program Bahasa Mandarin sebagai Upaya GAMKI Halsel Melihat Massa Depan

Kamis, 29 Mei 2025 - 03:35 WIT

Penindasan Yang Tak Berujung

Berita Terbaru

Opini

Ternate dan Krisis Drainase

Selasa, 24 Jun 2025 - 23:13 WIT