Oleh: Irfandi R. Hi Mustafa – Dosen Prodi IPS Universitas Nahdlatul Ulama Maluku Utara (Unutara)
ERA pra-revolusi di tahun 1948-1979 hubungan strategi antara Iran dan Israel Sangat erat dibawah kepemimpinan Mohammad Reza Pahlavi bahkan menjadi negara mayoritas muslim yang secara de facto mengakui Israel. Iran menjual minyak ke Israel dan bekerja sama dalam bidang militer dan intelijen, termasuk dengan Mossad dan SAVAK, keduanya Bersatu dalam menghadapi pengaruh Arab Nasionalis (seperti Mesir dan Suriah) serta kekuatan Soviet di Kawasan.
Dibalik revolusi Iran pada tahun 1979 yang dipimpin Ayatollah Khomeini menggulingkan Shah dan membentuk Republik Islam Iran, selain itu Iran menganggap Israel sebagai “rezim Zionis yang illegal” dan secara tegas menolak keberadaan secara ideologis dan religius. Sejak saat itu hubungan Iran dan Israel memburuk total. Iran mulai mendukung kelompok anti-Israel seperti Hizbullah di Lebanon dan Hamas di Palestina. Iran – Israel bukan konflik biasa. Konflik ini bergeseran pada pergeseran ideologis, geopolotik, dan kekuatan regional. Dari sekutuh di era Shah kini menjadi musuh ideologi yang saling mengancam eksistensi satu sama lain. Perang ini bukan hanya tentang dua negara tetapi juga tentang masa depan Timur Tengah dan keseimbangan global antara Timur dan Barat.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Perang dingin timur tengah dimulai pada tahun 1980 – 2000. Disitulah Iran mendanai milisi-milisi anti-Israel dan menjadikan penghancur Israel sebagai bagian dari narasi Revolusi Islam. Satu sisi Israel khawatir dengan pengaruh Iran di Lebanon Selatan (basis Hizbullah) dan upaya nuklir Iran yang mulai berkembang. Pada saat yang sama, Israel menjalin aliansi militer dengan Amerika Serikat (AS) dan Arab Moderat sehingga menciptakan poros yang berseberangan dengan Iran. Selanjutnya di tahun 2000 – 2020 perbincangannya yakni bayang-bayang nuklir, Iran telah mengembangkan program nuklir sipil yang dicurigai Israel dan negara barat sebagai kedok untuk membangun senjata nuklir, di tahun 2020 kemarin juga Israel juga melakukan berbagai operasi rahasia dan pembunuhan ilmuwan nukril Iran seperti Mohsen Fakhrizadeh.
Tahun 2025 ini kita menyaksikan eskalasi besar dalam konflik Iran-Israel yang selama ini berada dalam zona abu – abu. Meski sebagian besar publik melihat perang ini sebagai lanjutan dari rivalitas ideologis dan politik Timur Tengah, sejumlah fakta dibalik layar justru menunjukkan bahwa konflik ini digerakkan oleh kepentingan jauh dari kompleks dan sebagian besar belum tersentuh oleh pemberitaan global.
Keterlibatan Teknologi Siber dan AI dalam Perang Dingin Digital
Salah satu yang jarang disorot adalah bagaimana perang Iran – Israel tahun 2025 lebih banyak terjadi di ruang siber dibandingkan di medan perang konvensional. Unit 8200 Israel – badan intelijen sibernya menjadi ujung tombak serangan digital terhadap sistem infastruktur Iran, termasuk jaringan listrik di Shiraz dan Isfahan yang padam secara misterius pada maret 2025. Sementara itu, Iran melalui kelompok sibernya Charming Kitten menyerang sistem nevigasi kapal tanker di laut Tengah yang berbendera Israel.
Seperti yang dikatakan Dr. Rana Shahidi salah satu pakar Keamanan Siber di Universitas Tehran “Serangan siber kini menjadi senjata strategis yang bahkan bisa mengalahkan rudak balistik dalam efektivitas geopolitik” Di balik layar, Israel dan Iran melancarkan operasi yang jauh lebih destruktif dibanding bom, tetapi ransomware terhadap infrastruktur energi, sabutase sistem lalu lintas udara, dan penyebaran depfake untuk memanipulasi opini politik. Banyak serangan menyasar sistem rumah sakit, jaringan listrik dan keuangan. Ini menjadikan warga sipil sebagai korban utama dalam perang digital yang tidak diumumkan tapi terus berlangsung di setiap detik. Siber dan AI adalah senjata utama, perang dingin digital yang senyap tapi menghancurkan dan sunia belum siap sepenuhnya untuk menanganinya.
Perang Negara Ketiga: Arab Saudi dan China Bermain Dua Kaki
Penulis menganalisis bahwa fakta mengejutkan lainnya adalah keterlibatan pasif-agresif Arab Saudi dan Republik Rakyat Tiongkok. Meskipun Arab Saudi berseteru secara historis dengan Iran, justru memberikan jalur diplomatik rahasia di Oman sebagai tempat perundingan informasi Israel – Iran yang dimediasi oleh Beijing. Mengejutkan lagi selama ini China yang kita kenal Netral bahkan mendukung Iran justru terungkap memasok teknologi pengawasan kedua bela pihak demi menjaga kepentingan jalur minyak dan jalur Sutra Baru. Seperti dikatakan Prof. Michael Yuen sebagai pengamat hubungan internasional HKUST, mengatakan bahwa “China tidak ingin perang berakhir cepat. Ketidakstabilan terbatas justru menciptakan ruang tawar ekonomi dan keamanan”.
Arab Saudi maupun China memahami bahwa konflik Iran – Israel bisa digunakan sebagai alat negosiasi dalam forum global. Saudi menggukanakan ketegangan ini untuk menekan AS agar mengurangi tekanan terhadap hak asasi manusia dan program senjata Riyadh. Sementara China menggunakan sebagai kartu untuk memperlambat AS terhadap Taiwan, dengan imbalan bantuan mediasi di Timur Tengah.
Perang Iran -Israel sekarang ini menunjukkan bahwa dalam geopolitik meodern, aktor-aktor besar tidak selalu berada di garis depan. Mereka bisa duduk manis di belakang layar, memainkan pion, memanipulasi informasi dan menunggu hasil akhir sambil menghitung untung rugi. Arab Saudi dan China bukan saja sekedar pengamat, mereka adalah penentu arah konflik.
Kebenaran di Balik Serangan Balasan: Proxy Bukan Lagi Rahasia
Konflik ini bukan lagi soal negara lawan negara, ini tentang jaringan dan pengaruh yang saling bertumpuk (Ali Ghanbari, mantan analisis militer Iran0. Israel menuduh milisi Hizbullah dan kelompok Houti sebagai alat serangan Israel, akan tetapi dokumen bocoran dari mantan agen Mossad yang diliris Middle East Observer mengungkap bahwa beberapa serangan ke wilayah Galilea dan Haifa kemungkinan besar dilakukan oleh kelompok bersenjata indepensen Palestina yang mendapat pasokan dari Yaman, bukan langsung dari Iran. Hal tersebut mengidentifikasikan bahwa medan konflik semakin cair dengan aktor non-negara memainkan peran sentral.
Milisi-milisi yang dulu dianggap sebagai alat Iran kini sudah tumbuh menjadi aktor independen dengan agenda sendiri. Mereka tidak sepenuhnya dikendalikan, tapi tetap dimanfaatkan. Keberadaan proksi sering dimanfaatkan sebagai alat tawar dalam perundingan internasional, memungkinkan negara sponsor menghindari tanggung jawab lanngsung sambil tetap menekan lawan.
Perang antara Iran – Israel telah bergeser dari konflik dua negara menjadi perang jaringan proksi global, dimana setiap kelompok mempunyai kepentingan dan kemampuan untuk memicu eskalasi. Dalam perang ini proksi bukan lagi sekedar pelaku bayangan. Mereka adalah pusat dari konflik itu sendiri, konflik telah berubah dari perang negara menjadi pertarungan jaringan kekuasaan yang tidak kasat mata.
Saatnya Dunia Melihat di Balik Asap
Opini publik global kerap dibentuk oleh narasi-narasi yang sederhana, namun fakta-fakta di tahun 2025 menunjukkan bahwa realitasnya jauh lebih rumit ditengah propaganda, perang informasi, dan manuver rahasia korban utamanya tetap rakyat sipil di kedua negara tersebut. Dunia perlu lebih kritis, lebih jeli, dan lebih jujur dalam membaca ulang konflik ini. Sebab yang tak tampak sering kali lebih menentukan arah sejarah.
Saatnya dunia berhenti melihat konflik ini hanya dari asap rudal dan headline media. Sebagai masyarakat global kita ditantang untuk lebih kritis membaca perang, dan lebih berani menuntut transparansi. (*)