Oleh: Asrul Madra – Mahasiswa Pendidikan ISDIK Kie Raha Ternate
MALUKU Utara hari ini bukan lagi tanah yang dimerdekakan, melainkan tanah yang digadaikan. Rakyat bukan lagi pemilik negeri, tetapi buruh di atas tanah sendiri. Dan ironisnya, kekuasaan yang seharusnya melindungi, justru menjadi jembatan bagi modal asing menjarah sumber daya kita. Di tengah situasi ini, Gubernur Sherly T. Joanda tampil bukan sebagai pemimpin rakyat, melainkan mitra strategis bagi kekuatan kapitalisme global yang terus menyaru dalam proyek pembangunan.
Apa yang sedang terjadi bukan kebetulan. Ini adalah hasil dari pengelolaan daerah yang abai terhadap nilai-nilai kedaulatan. Negeri ini tidak lagi berjalan atas dasar konstitusi, tetapi dikendalikan oleh logika pasar bebas yang rakus dan korporasi tambang yang haus kuasa. Maka tidak cukup hanya kritik, kita membutuhkan arah. Dan untuk itu, kita harus kembali ke pemikiran radikal yang pernah lahir dari rahim perjuangan bangsa Kemerdekaan 100 persen menurut Tan Malaka.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Tan Malaka tidak pernah percaya pada kemerdekaan setengah hati. Baginya, merdeka artinya bebas total dari pengaruh asing secara politik, ekonomi, maupun sosial. Tan Malaka menolak kompromi. Ia menganggap segala bentuk perjanjian dengan kolonial, termasuk model persemakmuran dan dominasi investasi asing, sebagai bentuk baru dari penjajahan. Inilah yang membuatnya berbeda dari tokoh-tokoh nasionalis lain di masanya yang cenderung lunak dan mencari jalan tengah.
Tan Malaka percaya, selama alat-alat produksi dan kekayaan alam masih dikuasai asing atau elite lokal yang tunduk pada kepentingan luar, maka rakyat tidak benar-benar merdeka. Dalam konteks Maluku Utara, ini sangat relevan. Lihat bagaimana tanah rakyat dikeruk, laut dijarah, dan masyarakat hanya menjadi penonton atas eksploitasi yang disahkan lewat izin dan tandatangan pejabat. Apakah ini yang disebut pembangunan?
Tan Malaka sejak awal menulis bahwa revolusi sejati adalah yang menolak kompromi. Ia tidak menyetujui Perjanjian Linggarjati dan Renville karena hanya akan membuat Indonesia menjadi negara boneka. Maka, jika Gubernur Maluku Utara hari ini ingin belajar tentang keberpihakan sejati, bacalah kembali Madilog kitab perlawanan yang ditulis Tan dalam pengasingan dan penderitaan, namun penuh logika perjuangan dan kejelasan ideologis.
Kemerdekaan, menurut Tan, tidak bisa ditukar dengan angka pertumbuhan ekonomi yang hanya memperkaya investor dan elite lokal. Tidak bisa ditukar dengan pembangunan infrastruktur yang dibangun di atas penderitaan rakyat. Dan tidak bisa dibeli dengan janji-janji pemilu yang hanya mengulang kebohongan dalam bentuk baru.
Hari ini, ketika Gubernur Sherly T. Joanda sibuk menjual nama daerah untuk proyek tambang dan investasi besar, rakyat butuh suara yang lantang. Suara yang mengatakan bahwa kemerdekaan itu tidak bisa dicicil. Ia harus diperjuangkan sepenuhnya, tanpa syarat, dan tanpa tunduk.
Jika Maluku Utara ingin lepas dari kutukan sejarah sebagai tanah jajahan yang berulang, maka satu-satunya jalan adalah kembali ke semangat kemerdekaan penuh. Bukan kemerdekaan di atas kertas, tapi kemerdekaan yang hidup dalam tanah, laut, dan tubuh rakyat.
Tan Malaka telah memberikan kita arah. Yang kita butuhkan hari ini hanyalah keberanian untuk melawan. Jika tidak, maka selamanya kita akan menjadi budak di tanah sendiri, dengan pemimpin yang lebih takut kehilangan jabatan daripada kehilangan martabat rakyatnya. (*)