Dilema Pendidikan ditegah Masyarakat Taliabu : Antara Tambang dan Kampus

- Penulis Berita

Senin, 23 Juni 2025 - 12:59 WIT

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Oleh: Abd Rifai – Mahasiswa Pendidikan IPA Unutara

KABUPATEN Pulau Taliabu, sebuah gugusan tanah di sisi barat Provinsi Maluku Utara, tengah bergelut dengan dilema besar yang diam-diam merongrong masa depan generasinya. Sebuah dilema yang mungkin tidak banyak terdengar di meja-meja kebijakan pusat, tetapi nyata menghantui ruang-ruang keluarga, ruang kelas, dan bahkan ruang batin para pemuda di sana setelah lulus SMA, apakah akan melanjutkan pendidikan tinggi atau langsung terjun ke dunia tambang?

Pertanyaan ini bukan sekadar pilihan antara dua jalur hidup, melainkan cermin dari kegagalan sistem pendidikan dan pembangunan yang belum sepenuhnya menjawab kebutuhan dan tantangan masyarakat lokal. Banyak anak muda di Taliabu yang memilih bekerja di sektor tambang begitu mereka menggenggam ijazah SMA. Bagi sebagian dari mereka, masuk ke dunia kampus bukanlah harapan yang realistis, melainkan sebuah kemewahan yang terlalu jauh dari jangkauan.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Di permukaan, keputusan ini tampak sederhana. Gaji tambang cepat dan menggiurkan, sementara kuliah mahal, memakan waktu, dan hasilnya belum tentu menjanjikan. Namun ketika kita telisik lebih dalam, keputusan semacam ini bukanlah pilihan bebas yang dilandasi kesadaran dan pengetahuan penuh. Ia lahir dari situasi sosial-ekonomi yang memaksa, dari realitas struktural yang membuat pendidikan tinggi tampak seperti menara gading di tengah gurun pasir kemiskinan dan keterbatasan akses.

Transportasi antar pulau yang mahal, minimnya fasilitas pendidikan tinggi di daerah, serta terbatasnya beasiswa atau program afirmatif untuk anak-anak dari keluarga kurang mampu menjadikan perguruan tinggi tampak seperti mimpi yang terlalu mewah. Bahkan untuk bisa kuliah di kampus terdekat di Maluku Utara seperti di Ternate atau Sofifi, seorang anak Taliabu harus menyeberang laut, mengurus tempat tinggal, membayar biaya kuliah dan hidup di tengah kota yang biaya hidupnya jauh lebih tinggi dibanding kampung halaman.

Sementara itu, tambang-tambang yang menjamur di Taliabu membuka kesempatan kerja tanpa persyaratan pendidikan tinggi. Mereka butuh tenaga kasar, bukan gelar sarjana. Upahnya cukup menjanjikan bagi anak-anak muda yang ingin membantu orang tua atau membiayai adik-adik mereka. Di hadapan kenyataan ini, idealisme pendidikan sering kali harus tunduk pada kebutuhan hidup sehari-hari.

Namun benarkah ini adalah pilihan terbaik bagi masa depan mereka? Benarkah pekerjaan di sektor tambang akan menjamin kehidupan yang lebih baik, lebih sejahtera, dan lebih bermartabat dalam jangka panjang? Ataukah justru mereka sedang terjebak dalam siklus eksploitatif yang akan menggerus masa depan dan menghambat kemajuan daerah sendiri?

Pendidikan sejatinya adalah jembatan menuju kemerdekaan berpikir dan kemandirian hidup. Ki Hadjar Dewantara pernah berkata bahwa pendidikan harus memerdekakan manusia. Tetapi di Taliabu, pendidikan justru terpenjara oleh keadaan. Sistem tidak memberikan cukup ruang bagi anak-anak desa untuk bermimpi menjadi dosen, dokter, insinyur, atau pemimpin. Mereka dibatasi oleh logika ekonomi yang pragmatis: cepat dapat uang, segera bantu keluarga, jangan terlalu bermimpi tinggi karena kenyataan tak mendukung.

Kondisi ini mengkhianati semangat kemerdekaan dalam pendidikan. Tan Malaka, dalam Madilog, menyampaikan bahwa pendidikan bukan hanya untuk menambah pengetahuan, tetapi juga membentuk kesadaran kelas dan semangat untuk memperjuangkan keadilan. Jika anak-anak Taliabu terus-menerus dijauhkan dari akses pendidikan tinggi, maka siapa yang kelak akan memperjuangkan hak-hak mereka di hadapan negara dan modal? Siapa yang akan menjadi pemikir dan penggerak perubahan dari dalam? Tanpa generasi terdidik dari kampung, maka pembangunan akan terus didikte dari luar, dan masyarakat lokal hanya menjadi penonton di tanah sendiri.

Sungguh ironis. Di tanah yang kaya akan emas, nikel, dan kekayaan alam lainnya, justru anak-anaknya miskin akan akses dan pilihan. Mereka bekerja mengeruk kekayaan bumi, tapi tidak memiliki kontrol atau pemahaman mendalam tentang apa yang mereka kerjakan. Mereka adalah korban dari sistem yang lebih menghargai produksi ketimbang pendidikan, keuntungan jangka pendek ketimbang investasi jangka panjang.

Pemerintah daerah dan pusat semestinya tidak menutup mata terhadap kenyataan ini. Pendidikan harus menjadi prioritas dalam pembangunan, bukan sekadar jargon dalam kampanye politik. Jika negara ingin benar-benar membebaskan warganya dari kemiskinan struktural, maka pendidikan tinggi harus dibuat terjangkau, dekat, dan relevan dengan kebutuhan lokal. Perlu ada afirmasi khusus bagi anak-anak dari pulau-pulau seperti Taliabu baik dalam bentuk beasiswa, penguatan pendidikan jarak jauh, maupun pembangunan perguruan tinggi lokal yang berkualitas.

Selain itu, perusahaan-perusahaan tambang yang beroperasi di Taliabu juga memikul tanggung jawab moral dan sosial. Mereka tidak bisa hanya mengambil keuntungan dari sumber daya lokal tanpa memberi kontribusi berarti terhadap pendidikan masyarakat. Program CSR mereka semestinya tidak berhenti pada bantuan sembako atau pembangunan jalan, tetapi harus menyasar pada pembangunan sumber daya manusia. Membangun sekolah kejuruan, menyediakan beasiswa bagi anak-anak karyawan, dan bekerja sama dengan kampus untuk pelatihan vokasi bisa menjadi langkah awal untuk memutus siklus ketergantungan ini.

Tentu saja, pendidikan tidak hanya tanggung jawab pemerintah dan swasta. Keluarga, komunitas, dan masyarakat sipil juga harus terlibat aktif dalam membangun budaya belajar. Anak-anak harus diajak bermimpi, diberi teladan, dan dibantu secara konkret. Para tokoh agama, adat, dan pemuda bisa menjadi motor penggerak semangat ini di kampung-kampung. Kita harus menciptakan narasi baru bahwa belajar bukan untuk menjauh dari kampung, tapi untuk membangun kampung dari dalam.

Taliabu tidak boleh terus menjadi simbol ketertinggalan dalam pendidikan. Ia bisa menjadi model bagaimana daerah terpencil bangkit dengan kekuatan ilmu dan tekad. Tapi itu hanya mungkin jika ada kemauan kolektif, politik anggaran yang berpihak, dan kepedulian lintas sektor terhadap masa depan anak-anak desa. Jangan biarkan mereka terus menerus dipaksa memilih antara tambang atau lapar, antara bekerja atau mengubur mimpi.

Karena dalam jangka panjang, kekayaan yang sesungguhnya bukan terletak pada apa yang terkandung di dalam tanah, tetapi pada apa yang tumbuh di dalam pikiran generasi mudanya. Dan pendidikan adalah pupuk terbaik untuk menumbuhkan harapan, keberanian, dan kemerdekaan sejati. (*)

Facebook Comments Box

Berita Terkait

Pendidikan Mengimplikasikan Konsep Tentang Manusia dan Dunia
Ternate dan Krisis Drainase
Kerusakan Alam di Maluku Utara : Antara Kekayaan dan Ancaman
Melampaui Rudal : Konflik Iran–Israel dan Pertarungan di Dunia Tanpa Wajah
“Merdeka Seratus Persen”: Saat Rakyat Dijual Gubernur dan Kapitalis Asing
Hilirisasi Nikel, Budaya, dan Pendidikan di Maluku Utara: Sebuah Dilema Pembangunan
Program Bahasa Mandarin sebagai Upaya GAMKI Halsel Melihat Massa Depan
Penindasan Yang Tak Berujung
Berita ini 127 kali dibaca

Berita Terkait

Rabu, 25 Juni 2025 - 05:05 WIT

Pendidikan Mengimplikasikan Konsep Tentang Manusia dan Dunia

Selasa, 24 Juni 2025 - 23:13 WIT

Ternate dan Krisis Drainase

Selasa, 24 Juni 2025 - 14:30 WIT

Melampaui Rudal : Konflik Iran–Israel dan Pertarungan di Dunia Tanpa Wajah

Senin, 23 Juni 2025 - 12:59 WIT

Dilema Pendidikan ditegah Masyarakat Taliabu : Antara Tambang dan Kampus

Senin, 23 Juni 2025 - 12:52 WIT

“Merdeka Seratus Persen”: Saat Rakyat Dijual Gubernur dan Kapitalis Asing

Minggu, 22 Juni 2025 - 07:45 WIT

Hilirisasi Nikel, Budaya, dan Pendidikan di Maluku Utara: Sebuah Dilema Pembangunan

Kamis, 29 Mei 2025 - 04:14 WIT

Program Bahasa Mandarin sebagai Upaya GAMKI Halsel Melihat Massa Depan

Kamis, 29 Mei 2025 - 03:35 WIT

Penindasan Yang Tak Berujung

Berita Terbaru

Opini

Ternate dan Krisis Drainase

Selasa, 24 Jun 2025 - 23:13 WIT