Oleh : Al Fakhdi R. Bailussy – Anggota Literasi Forum Insan Cendikia dan Mahasiswa PWK Unutara
TERNATE, kota kecil yang pernah harum namanya di panggung sejarah dunia karena kejayaan rempah-rempah, kini berdiri rapuh di hadapan kenyataan pahit: bencana banjir yang terus berulang. Kota seluas 162,20 kilometer persegi dengan jumlah penduduk lebih dari dua ratus ribu jiwa ini sedang menghadapi krisis lingkungan yang tak bisa lagi ditutupi oleh retorika pembangunan semu. Setiap kali hujan deras mengguyur kota ini, air tak hanya jatuh dari langit, tetapi juga merayap ke dalam rumah-rumah warga, menenggelamkan jalan-jalan utama, dan menggagalkan aktivitas harian yang mestinya berjalan normal. Ternate tak ubahnya kolam besar yang kehilangan saluran pelepas airnya.
Apa yang sebenarnya terjadi? Kenapa kota yang dulunya dikenal sebagai mutiara dari timur ini justru tenggelam dalam genangan masalah yang bisa dicegah sejak lama? Jawabannya sederhana dan menyakitkan: sistem drainase yang buruk. Saluran air di Ternate didesain dan dibangun bertahun-tahun silam, ketika curah hujan belum setinggi sekarang dan tekanan urbanisasi belum sebesar hari ini. Sayangnya, sistem yang sudah uzur itu tidak pernah mengalami pembaruan menyeluruh. Ketika hujan turun dengan derasnya, air tak lagi punya ruang untuk mengalir. Ia tertahan, meluber, dan akhirnya menggenangi rumah, toko, jalan raya, bahkan kantor pemerintahan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Namun, kita tidak bisa hanya menyalahkan infrastruktur yang usang. Perilaku manusia turut menyumbang kerusakan yang ada. Sampah rumah tangga, terutama plastik, dibuang sembarangan ke parit dan selokan. Kebiasaan ini menjadi bom waktu yang memperparah keadaan. Saat saluran drainase sudah sempit, tersumbat pula oleh limbah domestik, maka genangan bukan lagi risiko tapi kepastian. Lebih ironis lagi, pembersihan saluran air hanya dilakukan saat banjir datang. Tidak ada program pemeliharaan rutin yang sistematis. Ternate hanya bereaksi, tidak pernah bersiap.
Kawasan seperti Bastiong dan Pandara Kananga di Kelurahan Makassar Timur telah menjadi langganan banjir. Air yang menggenang bukan hanya merusak fisik rumah dan harta benda, tetapi juga membawa dampak kesehatan yang serius. Genangan menjadi tempat berkembang biaknya nyamuk dan sumber penyakit kulit. Beban puskesmas meningkat, dan kualitas hidup masyarakat menurun, terutama bagi kelompok rentan seperti anak-anak dan lansia.
Semua ini seharusnya bisa diantisipasi jika pemerintah kota memiliki perencanaan yang matang, anggaran yang memadai, dan keberanian politik untuk mengeksekusi kebijakan yang berpihak pada keselamatan warga. Drainase bukan sekadar lubang di pinggir jalan, ia adalah nadi sebuah kota. Tanpa drainase yang baik, kota akan lumpuh, dan warganya akan terus hidup dalam siklus trauma yang tak pernah selesai.
Membangun ulang sistem drainase di Ternate bukanlah kemewahan, tetapi kebutuhan mendesak. Kota ini membutuhkan desain ulang drainase dengan kapasitas besar yang sesuai dengan intensitas curah hujan masa kini. Filter sampah harus menjadi standar. Namun tidak cukup hanya infrastruktur. Perlu revolusi dalam cara berpikir dan bertindak. Penggunaan teknologi ramah lingkungan seperti sumur resapan dan biopori harus menjadi kewajiban setiap rumah. Bayangkan jika setiap rumah di Ternate memiliki satu lubang resapan air. Maka beban saluran kota akan berkurang drastis, dan banjir bisa dicegah tanpa perlu menunggu proyek miliaran rupiah.
Masalah banjir ini sejatinya bukan hanya soal teknis. Ia adalah refleksi dari kegagalan kolektif: kegagalan pemerintah dalam perencanaan, kegagalan masyarakat dalam kedisiplinan lingkungan, dan kegagalan kita semua dalam membangun kota yang layak huni. Jika Belanda bisa hidup nyaman di bawah permukaan laut berkat sistem drainase dan tata kelola air yang luar biasa, mengapa Ternate yang berdiri di atas tanah tinggi justru tenggelam dalam air hujan?
Saatnya Ternate mengambil langkah berani. Ini bukan sekadar soal memperlebar selokan, tapi membangun sistem yang berkelanjutan. Harus ada sinergi nyata antara pemerintah, akademisi, aktivis lingkungan, dan masyarakat. Tak cukup lagi dengan seminar atau workshop penuh jargon. Kita perlu tindakan konkret yang bisa dirasakan langsung oleh warga. Kebijakan yang berpihak pada lingkungan harus diutamakan. Anggaran harus difokuskan pada infrastruktur dasar yang menyentuh kehidupan rakyat.
Jika semua ini tidak segera dilakukan, maka banjir bukan lagi momok tahunan, tapi bagian dari identitas kota. Ternate akan menjadi semacam Venezia, bukan yang memesona dengan gondola dan arsitektur eksotis, tetapi Venezia yang miskin, lelah, dan tanpa pesona. Kota ini bisa jadi tenggelam bukan karena laut naik, tetapi karena kepedulian yang terus menurun.
Ternate masih punya peluang untuk berubah. Namun, waktu tidak menunggu. Langkah harus diambil sekarang, sebelum air mengambil segalanya. (*)