Oleh : Aldi Haris
Mahasiswa Fakultas Hukum Unkhair
Di tengah-tengah kemajuan industri pertambangan nikel di Indonesia, terdapat cerita tentang perjuangan dan jeritan rakyat yang terdampak oleh aktivitas pertambangan. Provinsi Maluku Utara Sebagai salah satu provinsi yang ditetapkan sebagai wilayah Proyek Strategis Nasional (PSN), penetapan ini tentu memiliki alasan tertentu. Karna mengingat bahwa Provinsi Maluku Utara yang kaya akan Sumber Daya Alam (SDA) seperti nikel, emas, batu bara dll.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Hal ini tentu tidak terlepas dengan ambisi negara untuk memajukan pembangunan infrastruktur serta pertumbuhan ekonomi menuju Indonesia emas 2045, tanpa memikirkan bagaimana keberlangsungan hidup masyarakat kedepan. Hingga dengan ambisi yang begitu besar, negara melalui struktur pemerintahannya,
Pemerintah berbondong-bondong dan terus menerus membuka jalan untuk pertambangan ekstra aktif mengeksplorasi kekayaan Sumber Daya Alam (SDA) yang ada. Sabtu, 26 April 2025
Situasi ini sangatlah miris, karna selalu saja rakyat menjadi tumbalnya. Mestinya negara melalui struktur pemerintahannya seperti presiden, gubernur, bupati/walikota dan seterusnya mampu untuk mempertimbangkan secara kritis soal nasib dan masa depan rakyat, terutama pada generasi yang akan datang.
Karna mengingat dibalik ke bongkahan nikel, ada jeritan rakyat akibat ekplorasi tambang yang berlebihan hingga mengakibatkan kerusakan lingkungan, pengundulan hutan, tergesernya masyarakat dari ruang hidupnya, krisis air bersih dan tercemarnya pesisir pantai. Negara hadir untuk menjawab jeritan rakyat, bukan malah memperparah dengan membiarkan pertambangan terus Mengeksplorasi serta mengeruk sumber daya alam (SDA).
Bukankah dalam amanat pasal 33 ayat (3) Undang-undang Dasar 1945 telah menegaskan bahwa “Bumi air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”. Apakah penegasan ini tidak cukup jelas, sehingga rakyat harus terus menjerit.
Studi kasus yang terjadi seperti dihalteng dengan sungai sageanya, gebe dengan air bersihnya, obi dengan relokasi warganya, hal baru dengan PT. TUBnya dan juga yang tak kalah jauh dan banyak diperbincangkan pada setiap plafron media sosial adalah PT. Sambaki Tambang Sentosa (STS) di kecamatan wasile kabupaten Halmahera timur yang menolak melakukan ganti rugi lahan warga masyarakat tiga desa dengan alasan tanah milik negara, padahal warga telah menunjukan bukti kepemilikan tanah berupa sertifikat.
Ini menunjukan kebobrokan dan ketidak taatan PT. STS dalam memenuhi kewajibanya sebagai penambang, yang mana telah ditegaskan dalam Undang-undang No. 4 Tahun 2009 tentang pertambangan mineral dan batu bara (uu minerba), pada pasal 145 yang mengatur bahwa “persoalan tanah harus diselesaikan terlebih dahulu sebelum perusahan melakukan aktivitas”. Tapi mirisnya pt.sts telah melakukan aktivitas sebelum menyelesaikan pembayaran kepada warga pemilik lahan.
Persoalan ini harusnya menjadi poin penting bagi pemerintah setempat terkhususnya gubernur provinsi Maluku Utara, kalau perlu pemerintah harus turun langsung untuk membersamai warga melawan pt. sts serta memberikan sanksi seberat mungkin berupa pencabutan Izin Usaha Pertambangan IUP
tulisan ini adalah refleksi atas kondisi masyarakat Maluku Utara, terkhususnya masyarakat yang ada di wilayah Halmahera Timur. (Red)*