Nestapa Masyarakat Adat Wayamli: Kegagalan Wakil Rakyat?

- Penulis Berita

Senin, 28 April 2025 - 02:15 WIT

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Oleh : Aldi Haris
Mahasiswa Fakultas Hukum Unkhair Ternate

Masyarakat adat Wayamli, Kabupaten Halmahera Timur, saat ini tengah mengalami nestapa yang mendalam. Pergolakan kian makin memanas aktivitas pertambangan nikel yang tidak terkendali telah menyebabkan kerusakan lingkungan, penggusuran lahan, penyerobotan dan dampak sosial yang signifikan.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Namun, yang lebih menyedihkan adalah diamnya wakil rakyat yang seharusnya menjadi suara bagi masyarakat. Problem antara masyarakat Wayamli (khususnya Desa Wayamli, Maba Tengah, Halmahera Timur) dan PT Sembaki Tambang Sentosa (STS) terhitung dimulai pada Senin, 21 April 2025 dengan aksi memblokade aktivitas tambang nikel.

Aksi ini dipicu oleh dugaan PT STS yang telah menyerobot wilayah adat Qimalaha Wayamli tanpa sepengetahuan. Penyerobotan inilah yang menjadi pemicu kemarahan warga untuk melakukan blokade terhadap aktivitas PT. STS dan meminta pertanggung jawaban atas lahan yang telah digarap, serta mendesak PT.STS angkat kaki dari wilayah adat. Namun permintaan itu tak kunjung digubris hingga saat ini.

Mirisnya lagi ketika wakil rakyatnya diam dan acuh tak mau tau dengan persoalan yang dihadapi warganya. Ini tercermin beberapa kali ketika pihak perusahan melakukan intimidasi, diskriminasi dan bahkan sampai pada penangkapan warga, tidak ada satupun dari mereka (Anggota DPRD) yang angkat bicara, sebagai sikap keberpihakan.

Di negeri yang kaya akan budaya dan keberagaman, masyarakat adat seharusnya mendapat tempat terhormat sebagai penjaga warisan leluhur. Namun realitanya, mereka justru sering menjadi korban dari kepentingan pertambangan.

Tanah ulayat dirampas, hutan dirusak, budaya tergeser. Pertanyaannya: di mana wakil rakyat ketika masyarakat adat menjerit? Apakah nestapa mereka juga merupakan kegagalan para wakil rakyat dalam menjalankan amanah?
Wakil rakyat seharusnya menjadi jembatan antara negara dan rakyat—seluruh rakyat, termasuk komunitas adat yang seringkali berada di pinggiran geografi dan kekuasaan.

Tetapi yang terjadi justru sebaliknya. Alih-alih membela, tak sedikit dari mereka justru bersekongkol secara diam-diam dengan kepentingan politik dan ekonomi yang merugikan masyarakat adat.

Satu diantaranya adalah minimnya representasi asli masyarakat adat di parlemen membuat suara mereka nyaris tak terdengar. Bahkan dalam pembahasan RUU Masyarakat Adat yang bertahun-tahun mangkrak di DPR, komitmen politik untuk menyelesaikannya sangat lemah. Padahal, ini adalah undang-undang kunci yang bisa melindungi hak dan eksistensi masyarakat adat di tanah sendiri.

Sebenarnya kondisi ini mengajarkan kita tentang kegagalan struktural: dari sistem demokrasi yang belum inklusif, sampai politik yang lebih berpihak pada modal daripada moral. Maka wajar bila bila kita menilai wakil rakyat bukan sebagai pembela, tetapi sebagai bagian dari mesin yang menggiling hidup mereka pelan-pelan.

Apakah ini sepenuhnya salah wakil rakyat? Sebagian, ya. Karena mereka yang telah mendapat mandat untuk bersuara justru memilih bungkam. Tetapi kita juga tak bisa menutup mata pada sistem politik yang membuat masyarakat adat sulit menjangkau parlemen—baik secara geografis, ekonomi, maupun sosial.

Sudah saatnya publik mendesak perubahan. Undang-undang Masyarakat Adat harus segera disahkan. Representasi asli dari komunitas adat harus diberi ruang dalam politik. Dan yang paling penting: wakil rakyat harus kembali pada hakikatnya—mewakili seluruh rakyat, bukan hanya mereka yang bersuara lantang di pusat, tapi juga yang selama ini hanya bisa menangis diam-diam di rimba.

Facebook Comments Box

Berita Terkait

PHI Gelar Sidang Perdana, Kuasa Hukum Pekerja Soroti Proses PHK Sepihak PT Wanatiara Persada
Atap Bocor, Proses Belajar di TK Al-Khairaat Gorua Terganggu
Dana BPNT Diduga Dirampok, Warga Obi Tuntut Felista Kokiroba Diproses Hukum
Pelaku Tambang Rakyat di Obi Resmi Usulkan Pembentukan WPR ke Pemda Halsel
Tinju Rakyat, Kepala Inspektorat Halsel Dipolisikan
Kapolres Halsel dan DP3A Kunjungi Korban KDRT, Pastikan Proses Hukum Berjalan
Diduga Ada Bekingan Oknum Polisi, Praktisi Hukum Desak Kapolda Malut Ambil Alih Kasus Arisan Bodong
Cafe Fortune Milik Hendri THE Diduga Jual Bebas Miras Capten Morgan, SKAK-MU Desak Razia
Berita ini 58 kali dibaca

Berita Terkait

Rabu, 25 Juni 2025 - 05:05 WIT

Pendidikan Mengimplikasikan Konsep Tentang Manusia dan Dunia

Selasa, 24 Juni 2025 - 16:26 WIT

Kerusakan Alam di Maluku Utara : Antara Kekayaan dan Ancaman

Selasa, 24 Juni 2025 - 14:30 WIT

Melampaui Rudal : Konflik Iran–Israel dan Pertarungan di Dunia Tanpa Wajah

Senin, 23 Juni 2025 - 12:59 WIT

Dilema Pendidikan ditegah Masyarakat Taliabu : Antara Tambang dan Kampus

Senin, 23 Juni 2025 - 12:52 WIT

“Merdeka Seratus Persen”: Saat Rakyat Dijual Gubernur dan Kapitalis Asing

Minggu, 22 Juni 2025 - 07:45 WIT

Hilirisasi Nikel, Budaya, dan Pendidikan di Maluku Utara: Sebuah Dilema Pembangunan

Kamis, 29 Mei 2025 - 04:14 WIT

Program Bahasa Mandarin sebagai Upaya GAMKI Halsel Melihat Massa Depan

Kamis, 29 Mei 2025 - 03:35 WIT

Penindasan Yang Tak Berujung

Berita Terbaru