Pendidikan Tanpa Arah : Refleksi HIPMI untuk Maluku Utara.

- Penulis Berita

Kamis, 1 Mei 2025 - 10:23 WIT

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Oleh : Ghozali Elfridho ( Ketua Umum HIPMI Ternate)

PENDIDIKAN adalah jalan panjang menuju peradaban. Di negeri yang konon menjunjung tinggi kecerdasan anak bangsa ini, kata “pendidikan” sering dijunjung tinggi dalam pidato, tapi dijatuhkan dalam kebijakan. Indonesia, dengan segunung problem pendidikan yang menggurita dari Sabang sampai Merauke, terus menampakkan ironi yang menyesakkan. Pendidikan seakan-akan milik segelintir, dan bukan menjadi hak semua. Di atas kertas, kita bangga dengan jargon “pendidikan untuk semua,” namun di lapangan, pendidikan masih terbatas pada mereka yang sanggup bertahan, yang sanggup membayar, atau yang sanggup merangkak walau digilas sistem.

Jika merujuk pada data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2023, angka rata-rata lama sekolah nasional adalah 8,6 tahun. Artinya, rata-rata anak Indonesia hanya mengenyam pendidikan hingga kelas 2 SMP. Ironi ini diperparah dengan ketimpangan antarwilayah. Provinsi-provinsi di timur Indonesia, termasuk Maluku Utara, mencatat angka yang lebih rendah. Maluku Utara, misalnya, hanya mencatat angka 7,6 tahun. Dalam konteks hak dasar, angka ini adalah pengkhianatan terhadap konstitusi yang menjamin pendidikan minimal 12 tahun.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Pakar pendidikan, Prof. Dr. Suyanto, mantan Dirjen Pendidikan Dasar dan Menengah, menyatakan bahwa ketimpangan infrastruktur dan akses adalah salah satu akar permasalahan pendidikan di Indonesia. “Di Indonesia, sekolah bukan hanya soal gedung dan guru. Sekolah adalah soal politik anggaran, soal kesungguhan negara untuk hadir di daerah-daerah tertinggal.” Sayangnya, Maluku Utara masih masuk kategori tertinggal jika kita menilai dari indikator pendidikan.

Mari kita bicara soal realitas di Maluku Utara. Di sebuah desa kecil di Pulau Bacan, seorang anak harus menempuh perjalanan dua jam dengan perahu untuk bisa mengenyam bangku SMP. Guru-guru di sana datang dua kali seminggu, itu pun kalau tidak terhalang cuaca. Banyak anak yang akhirnya menyerah. Bukan karena mereka bodoh, bukan karena malas, tetapi karena negara tidak cukup serius menjangkau mereka. Apakah ini yang dimaksud “Indonesia Emas 2045”? Apakah emas itu hanya milik kota?

Kita hidup dalam negara yang membanggakan APBN pendidikan 20 persen, namun lupa mengevaluasi ke mana dana itu pergi. Dalam Laporan Keuangan Pemerintah Pusat 2023 yang dirilis BPK, dana pendidikan nasional mencapai Rp 612 triliun. Namun, pertanyaannya adalah, apakah dana itu menyentuh anak-anak di Maluku Utara? Atau hanya terserap untuk proyek pelatihan, seminar, pembangunan gedung di kota, dan honorarium birokrat pendidikan?

Salah satu tokoh pendidikan kritis dari Timur, Dr. Syamsir Andili, pernah menulis bahwa pendidikan di Indonesia ibarat bangunan mewah yang pondasinya rapuh. “Kita membangun gedung sekolah tinggi di pusat kota, tapi di desa tidak ada guru. Kita mencetak ribuan sarjana pendidikan, tapi tidak ada strategi distribusi mereka ke pelosok. Kita menumpuk angka partisipasi sekolah, tapi tidak jujur dengan kualitas,” tulisnya dalam salah satu artikelnya yang viral di media lokal.

Ketika berbicara tentang kualitas, mari kita lihat hasil asesmen nasional. Hasil Asesmen Nasional (AN) tahun 2023 yang dirilis Kemendikbudristek menunjukkan bahwa lebih dari 40 persen siswa SMA di Indonesia tidak mampu memahami teks bacaan kompleks. Di Maluku Utara, angkanya lebih tinggi, 53 persen siswa tidak lulus standar literasi dasar. Ini bukan sekadar angka. Ini adalah cerminan dari sistem yang gagal memahami konteks lokal, gagal menyediakan bahan ajar yang relevan, dan gagal menghadirkan guru-guru bermutu di tempat yang paling membutuhkannya.

Di kota-kota besar, orang tua berlomba memasukkan anaknya ke sekolah internasional, membayar jutaan rupiah tiap bulan. Sementara di desa-desa Halmahera, anak-anak duduk di bangku kayu lapuk, tanpa buku, tanpa internet, dan terkadang bahkan tanpa guru. Ketimpangan ini bukan hanya soal ekonomi, tapi soal keadilan sosial. Apakah anak di desa tidak punya hak yang sama untuk bermimpi?

Sistem pendidikan kita terlalu sentralistik dalam distribusi sumber daya, tetapi desentralistik dalam distribusi beban. Guru-guru yang ditempatkan di daerah pelosok sering kali tidak mendapatkan insentif yang layak. Mereka harus menjadi pengajar, konselor, bahkan tukang bangunan untuk memperbaiki kelas. Banyak dari mereka mundur perlahan, tergerus oleh kelelahan dan ketidakpedulian sistem.

Tidak heran jika UNESCO dalam laporan Global Education Monitoring 2023 menempatkan Indonesia dalam kategori “fragile commitment to equitable education” komitmen rapuh terhadap pemerataan pendidikan. Komitmen kita rapuh karena pendidikan hanya dijadikan alat politik lima tahunan. Di Maluku Utara, janji pendidikan gratis menjadi slogan kampanye, namun realisasinya tidak menjangkau kualitas. Banyak siswa yang sekolah gratis, tetapi tetap harus membayar biaya transportasi, seragam, dan fotokopi yang jauh lebih mahal dibanding SPP.

Tokoh nasional seperti Anies Baswedan pernah mengingatkan bahwa “masalah terbesar pendidikan Indonesia bukan kurangnya dana, tetapi kurangnya visi.” Dan memang benar. Visi pendidikan sering kali berhenti pada narasi, bukan implementasi. Di Maluku Utara, kita tidak kekurangan guru. Kita kekurangan skema pelatihan berkelanjutan, kekurangan pengawasan, dan kekurangan keberanian untuk mendobrak kebiasaan lama yang menindas guru dengan birokrasi.

Lebih jauh lagi, kurikulum kita masih memaksakan keseragaman. Anak-anak di Ternate dan Sanana belajar hal yang sama dengan anak-anak di Jakarta dan Bandung, tanpa mempertimbangkan konteks budaya, sosial, dan geografis mereka. Pendidikan harus membebaskan, bukan menyamaratakan. Paulo Freire dalam “Pedagogy of the Oppressed” menulis bahwa pendidikan yang membebaskan adalah pendidikan yang mendengarkan, bukan mendikte. Tapi sistem kita terlalu suka mendikte.

Pendidikan di Indonesia juga mengalami komersialisasi luar biasa. Perguruan tinggi menjadi mesin penghasil uang, bukan pengetahuan. Di Maluku Utara, universitas negeri dan swasta berlomba menarik mahasiswa tanpa membenahi mutu pengajaran. Mahasiswa dibebani UKT mahal, namun sering kali tidak mendapatkan pengalaman akademik yang bermakna. Sarjana-sarjana muda keluar dari kampus dengan ijazah di tangan, tapi gagap menghadapi realitas. Bukan karena mereka bodoh, tetapi karena kampus hanya mengajarkan mereka bagaimana menjadi penonton dalam perubahan, bukan pelaku.

Perubahan hanya mungkin jika ada keberanian. Pendidikan kita butuh revolusi mental yang bukan sekadar jargon. Kita butuh guru-guru yang digaji layak, bukan guru honorer dengan upah di bawah UMR. Kita butuh kepala dinas pendidikan yang turun ke lapangan, bukan duduk di ruang AC menyusun laporan fiktif. Kita butuh kepala daerah yang menjadikan pendidikan sebagai prioritas anggaran, bukan sekadar program tambahan.

Kita butuh sistem yang tidak hanya menyekolahkan anak-anak, tapi juga memanusiakan mereka. Anak-anak Maluku Utara tidak butuh kasihan; mereka butuh kesempatan yang setara. Mereka tidak butuh pahlawan dari Jakarta; mereka butuh kehadiran negara yang jujur dan adil.

Pendidikan adalah investasi jangka panjang. Keuntungan dari pendidikan bukan hanya angka pertumbuhan ekonomi, tapi juga kualitas demokrasi, kemanusiaan, dan masa depan. Jika kita gagal memperbaiki sistem pendidikan sekarang, maka kita sedang memelihara bencana masa depan. Tidak perlu menunggu 2045 untuk sadar bahwa kita sedang gagal.

Penulis percaya, Maluku Utara bisa menjadi pionir pendidikan kontekstual, jika keberpihakan diarahkan pada yang membutuhkan, bukan yang menguntungkan secara politik. Jika kampus-kampus di Ternate, Sofifi, Labuha dan Tobelo bersatu membangun jejaring pengetahuan lokal, bukan sekadar mengejar akreditasi formalitas. Jika guru-guru diberi ruang untuk berkembang dan berekspresi. Jika kurikulum dibebaskan dari belenggu keseragaman Jakarta-sentris.

Pendidikan adalah senjata paling ampuh untuk mengubah dunia, kata Nelson Mandela. Tapi di tangan yang salah, senjata itu bisa menjadi alat pembunuh harapan. Mari kita rebut kembali pendidikan dari tangan-tangan yang menjadikannya alat politik. Mari kita kembalikan pendidikan pada anak-anak, guru, dan masa depan. Mari kita mulai dari Maluku Utara. (*)

Facebook Comments Box

Berita Terkait

PHI Gelar Sidang Perdana, Kuasa Hukum Pekerja Soroti Proses PHK Sepihak PT Wanatiara Persada
Atap Bocor, Proses Belajar di TK Al-Khairaat Gorua Terganggu
Dana BPNT Diduga Dirampok, Warga Obi Tuntut Felista Kokiroba Diproses Hukum
Pelaku Tambang Rakyat di Obi Resmi Usulkan Pembentukan WPR ke Pemda Halsel
Tinju Rakyat, Kepala Inspektorat Halsel Dipolisikan
Kapolres Halsel dan DP3A Kunjungi Korban KDRT, Pastikan Proses Hukum Berjalan
Diduga Ada Bekingan Oknum Polisi, Praktisi Hukum Desak Kapolda Malut Ambil Alih Kasus Arisan Bodong
Cafe Fortune Milik Hendri THE Diduga Jual Bebas Miras Capten Morgan, SKAK-MU Desak Razia
Berita ini 43 kali dibaca

Berita Terkait

Rabu, 25 Juni 2025 - 05:05 WIT

Pendidikan Mengimplikasikan Konsep Tentang Manusia dan Dunia

Selasa, 24 Juni 2025 - 16:26 WIT

Kerusakan Alam di Maluku Utara : Antara Kekayaan dan Ancaman

Selasa, 24 Juni 2025 - 14:30 WIT

Melampaui Rudal : Konflik Iran–Israel dan Pertarungan di Dunia Tanpa Wajah

Senin, 23 Juni 2025 - 12:59 WIT

Dilema Pendidikan ditegah Masyarakat Taliabu : Antara Tambang dan Kampus

Senin, 23 Juni 2025 - 12:52 WIT

“Merdeka Seratus Persen”: Saat Rakyat Dijual Gubernur dan Kapitalis Asing

Minggu, 22 Juni 2025 - 07:45 WIT

Hilirisasi Nikel, Budaya, dan Pendidikan di Maluku Utara: Sebuah Dilema Pembangunan

Kamis, 29 Mei 2025 - 04:14 WIT

Program Bahasa Mandarin sebagai Upaya GAMKI Halsel Melihat Massa Depan

Kamis, 29 Mei 2025 - 03:35 WIT

Penindasan Yang Tak Berujung

Berita Terbaru