Oleh : Iswan Abdullah – Anggota Literasi Forum Insan Cendikia dan Mahasiswa Pendidikan IPS Unutara
MALUKU UTARA, dengan keindahan alamnya yang memukau dan kekayaan sumber daya alam yang melimpah, bagaikan permata di Timur Indonesia. Namun, di balik pesonanya, wilayah ini tak luput dari ancaman kerusakan lingkungan yang semakin nyata. Kerusakan alam di Maluku Utara merupakan isu kompleks yang menuntut perhatian serius dari berbagai pihak.
Salah satu penyebab utama kerusakan ini adalah eksploitasi sumber daya alam secara masif dan tidak terkendali, khususnya di sektor pertambangan. Maluku Utara dikenal kaya akan nikel, emas, dan mineral lainnya. Investasi besar-besaran di sektor ini sering kali berujung pada pembukaan lahan dalam skala luas, deforestasi, dan pencemaran air akibat limbah tambang. Hutan-hutan yang seharusnya menjadi paru-paru bumi dan penopang keanekaragaman hayati kini terancam keberadaannya. Ekosistem pun terganggu, habitat satwa endemik rusak, dan keseimbangan alam kian rapuh.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Lebih dari itu, wajah pesisir dan laut Maluku Utara pun turut memucat. Perikanan yang tidak berkelanjutan, seperti penggunaan bom ikan atau pukat harimau, telah merusak terumbu karang rumah bagi ribuan spesies laut yang menopang kehidupan masyarakat pesisir. Kerusakan ini diperparah oleh pencemaran sampah plastik dan limbah rumah tangga yang setiap hari membanjiri lautan. Padahal, kehidupan nelayan dan masyarakat pesisir sangat tergantung pada laut yang sehat dan berkelanjutan. Ketika laut tercemar dan hasil tangkapan berkurang drastis, maka hancurlah tumpuan ekonomi, hancur pula rantai kebudayaan yang sejak lama menyatu dengan alam bahari.
Kerusakan alam ini bukan hanya berdampak pada ekosistem, tetapi juga langsung memukul kehidupan sosial masyarakat. Masyarakat adat dan komunitas lokal adalah pihak yang paling rentan dan paling awal merasakan dampaknya. Mereka kehilangan akses terhadap sumber penghidupan tradisional seperti hutan, sungai, dan laut. Banyak dari mereka yang harus berpindah tempat tinggal, tidak lagi mampu menggantungkan hidup pada hasil hutan dan laut yang kian menipis. Akibat pencemaran, muncul pula masalah kesehatan yang serius: air minum tercemar, hasil laut mengandung logam berat, dan udara sekitar industri tambang dipenuhi debu dan gas berbahaya. Bahkan identitas budaya yang erat kaitannya dengan alam pun mulai mengabur, terancam lenyap bersama hancurnya bentang alam yang telah diwariskan turun-temurun.
Apa yang lebih menyedihkan adalah sikap negara yang seakan-akan abai. Pemerintah pusat, pemerintah daerah, dan pihak swasta yang semestinya bertanggung jawab atas kerusakan ini justru memilih untuk menutup mata. Mereka seolah-olah tidak melihat apa yang terjadi di tanah yang katanya mereka cintai. Penegakan hukum lebih berpihak kepada kepentingan tambang. Audit lingkungan hanya formalitas. Kebijakan yang seharusnya pro-lingkungan lebih sering dijadikan bahan pidato seremonial ketimbang diimplementasikan secara konkret. Ketika warga bersuara, mereka dibungkam, dan ketika bencana terjadi, mereka dibiarkan menanggungnya sendiri.
Banjir di Halmahera Selatan, terutama di desa-desa sekitar area pertambangan, adalah salah satu gambaran nyata dari bencana ekologis yang terus berulang. Ini bukan sekadar fenomena alam, melainkan akibat langsung dari pembukaan hutan yang masif. Deforestasi demi pertambangan dan pemukiman membuat tanah kehilangan daya serap terhadap air. Akibatnya, saat hujan turun, banjir tidak terhindarkan. Rumah-rumah warga terendam, akses jalan terputus, aktivitas ekonomi lumpuh total. Kerugian tak hanya dalam bentuk materi, tetapi juga dalam bentuk trauma dan penderitaan yang berkepanjangan. Belum lagi potensi penyakit pasca banjir seperti diare, gatal-gatal, hingga infeksi saluran pernapasan yang kian meningkat karena buruknya sanitasi dan kualitas air.
Di sisi lain, pembongkaran kawasan hutan secara besar-besaran untuk kebutuhan hilirisasi tambang telah mengakibatkan hilangnya tutupan pohon yang sangat penting dalam menjaga keseimbangan daerah aliran sungai. Sungai-sungai penting seperti Sagea, Todoku, dan Sangaji kini tercemar berat. Perairan Teluk Buli, Teluk Weda, dan kawasan industri di Pulau Obi juga menunjukkan tanda-tanda kerusakan akut. Ditemukan logam berat seperti kromium heksavalen dan berbagai zat beracun lain yang tidak hanya membunuh ikan, tetapi juga mengancam kesehatan manusia yang mengonsumsi air dan hasil laut dari wilayah tersebut. Bahkan udara yang dihirup warga pun tercemar akibat polusi dari pembangkit listrik batu bara dan aktivitas smelter yang mendominasi kawasan industri. Meningkatnya kasus infeksi saluran pernapasan di sekitar lokasi tambang menjadi bukti bahwa kerusakan alam telah berubah menjadi ancaman kesehatan publik.
Maluku Utara tidak sedang baik-baik saja. Di balik janji pembangunan dan kemajuan ekonomi, ada luka besar yang menganga di tubuh alam dan masyarakatnya. Wilayah ini menjadi contoh nyata dari paradoks pembangunan: kekayaan alam yang melimpah berubah menjadi kutukan karena salah urus, kerakusan, dan kebijakan yang berpihak pada modal ketimbang kehidupan. Ironisnya, di atas kerusakan ini, pemerintah dan perusahaan tambang terus berbicara tentang pertumbuhan ekonomi dan investasi, seakan-akan tidak ada krisis yang sedang terjadi.
Namun semua ini belum terlambat untuk diperbaiki. Maluku Utara bisa memilih jalan yang berbeda. Pembangunan tidak harus merusak. Perekonomian tidak harus bertumpu pada pertambangan yang rakus. Ada banyak potensi lain seperti perikanan berkelanjutan, pariwisata berbasis alam dan budaya, serta pertanian ramah lingkungan yang bisa menjadi sumber penghidupan dan kebanggaan daerah. Tapi tentu, semua itu membutuhkan keberanian politik, komitmen moral, dan suara masyarakat yang tidak lagi diam.
Kerusakan alam di Maluku Utara adalah peringatan keras bagi kita semua. Jika tidak segera ditangani secara serius dan menyeluruh, maka kekayaan yang selama ini dibanggakan bisa berubah menjadi bencana jangka panjang. Masa depan bukan milik investor, tapi milik generasi yang akan mewarisi tanah ini. Maka menjaga alam hari ini adalah bentuk cinta yang paling tulus untuk anak cucu kita kelak. (*)